press enter to search

Kamis, 28/03/2024 18:46 WIB

YLKI: Cukai Rokok adalah Pajak Dosa

Redaksi | Jum'at, 27/10/2017 10:33 WIB
YLKI: Cukai Rokok adalah Pajak Dosa Indonesia tertinggi perokok di ASEAN

JAKARTA (aksi.id) - Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI) menilai kenaikan cukai rokok tahun depan merupakan langkah mundur Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Pemerintah telah mengumumkan rencana kenaikan tarif cukai tahun depan sebesar 10,04 persen atau lebih rendah dari kenaikan tahun ini yang mencapai 11,19 persen.

"Jika dilihat presentasenya, kenaikan cukai tersebut merupakan langkah mundur. Sebab pada 2016 yang lalu, kenaikan cukai rokok mencapai 11,19 persen. Seharusnya setiap kenaikan cukai bersifat progresif, sehingga mencapai angka minimal yakni 57 persen, sebagaimana amanat UU tentang Cukai," ujar Ketua Pengurus Harian YLKi Tulus Abadi dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (27/10).

Menurut Tulus, rendahnya persentase kenaikan cukai rokok mencerminkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani masih sangat konservatif dalam mengambil kebijakan terkait kenaikan cukai rokok.

"Kenapa konservatif? Karena seharusnya dengan kenaikan yang lebih tinggi pemerintah dapat menggali pendapatan dari sektor cukai yang lebih besar. Seharusnya Menkeu memahami hal ini mengingat defisitnya APBN, akibat target pendapatan pajak yang selalu jeblok," ujarnya.

Selain itu, lanjut Tulus, kenaikan cukai yang tinggi juga bisa menjadi instrumen pengendalian konsumsi rokok. Pasalnya cukai adalah merupakan pajak dosa.

Sementara, saat ini menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mayoritas penyakit yang diderita pasien BPJS Kesehatan adalah penyakit degeneratif, yang salah satu pemicunya adalah konsumsi rokok.

YLKI Protes Kenaikan Cukai Rokok Kurang TinggiIlustrasi pasien penyakit paru-paru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

"Pantas saja tiap tahun fiansial BPJS mengalami bleeding. Pada 2016 defisitnya mencapai Rp9 triliun, dan pada 2017 diprediksi mencapai Rp 12 triliun," paparnya.

Kemudian, rendahnya kenaikan cukai rokok oleh Kemenkeu akan mengakibatkan prevalensi merokok semakin tinggi, karena harga rokok masih sangat terjangkau baik oleh rumah tangga miskin dan atau anak-anak dan remaja.

Pasalnya, ia menilai kenaikan cukai rokok 10,04 persen hanya berdampak terhadap kenaikan rokok sebesar Rp 30-50 per batang.

"Apalah artinya kenaikan sebesar itu? Karena toh rokok masih bisa dibeli secara ketengan. Dalam konteks ini, Menkeu gagal memahami cukai sebagai `pajak dosa`, sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok," ujarnya.

Melihat rendahnya kenaikan cukai rokok tersebut, Tulus menduga Sri Mulyani terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok. Artinya, Menkeu tidak independen dan tidak netral atas intervensi oleh industri rokok sehingga mengabaikan masukan dari masyarakat yang mendorong pengendalian konsumsi rokok.


Himbauan Presiden Joko Widodo agar petani mengurangi bertanam tembakau akibat dampak kenaikan cukai, juga hal yang tidak relevan.

"Kenaikan cukai 10,04 persen tidak berdampak apa pun terhadap petani tembakau. Nasib petani tembakau justru digerus oleh perilaku industri rokok yang seenaknya menentukan harga dan kualitas daun tembakau milik petani," pungkasnya. (gir) (bintang/sumber: cnnindonesia.com).

Keyword YLKI Rokok