press enter to search

Kamis, 25/04/2024 14:41 WIB

Rusia Percepat Tinggalkan Dolar, Sebagai Balasan Sanksi AS

Redaksi | Sabtu, 25/08/2018 13:57 WIB
Rusia Percepat Tinggalkan Dolar,  Sebagai Balasan Sanksi AS Wakil Ketua Deputi Bank Sentral Rusia, Olga Skorobogatova berbicara tentang peluncuran uang pecahan 100 rubel dengan desain bertema Piala Dunia 2018, di Moskow, Rusia, 22 Mei 2018. Sekitar 20 juta uang polimer akan dimasukkan ke dalam sirkulasi. REUTERS/Sergei Karpukhin

aksi.id – Pemerintah Rusia bakal mempercepat rencana penggunaan ata uang nasional rubel untuk berbagai kegiatan perdagangan global bersama Cina dan Iran.

Deputi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, mengatakan ini sebagai respon atas sejumlah sanksi AS terhadap Rusia dan Iran.

“Saatnya sudah tiba dari berkata-kata menjadi bertindak. Dan menyingkirkan dolar sebagai alat pembayaran bersama dan menggunakan mata uang alternatif,” kata Ryabkov dalam wawancara dengan majalah International Affairs dan dikutip TASS pada Kamis, 23 Agustus 2018 waktu setempat

Ryabkov melanjutkan,”Terima kasih Tuhan ini mulai terjadi. Dan kami akan mempercepat langkah ini selain melakukan langkah balasan atas sejumlah sanksi AS.”

Seperti dilansir Reuters, AS kembali mengenakan sanksi pelarangan baru penjualan sejumlah produk teknologi canggih kepada Rusia. AS juga bakal menerapkan sanksi berikutnya jika Rusia menolak inspeksi dari PBB atau lembaga internasional mengenai lokasi pembuatan racun syaraf novichok. 

Pegawai bank menghitung uang dolar Amerika Serikat pecahan 100 dolar dan uang rupiah pecahan Rp 100 ribu di kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Senin, 20 Agustus 2018. Nilai tukar rupiah, yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin sore, 20 Agustus 2018, bergerak melemah 20 poin ke level Rp 14.592 dibanding sebelumnya Rp 14.572 per dolar Amerika. TEMPO/Tony Hartawan

Sanksi baru AS ini, yang bakal mulai berlaku pada akhir Agustus 2018, terkait dengan serangan terhadap bekas agen ganda Sergei Skripal menggunakan novichok. AS dan sejumlah negara Barat menuding Moskow berada di balik serangan itu.

Secara terpisah, Radio Free Europe melansir Iran juga berkeinginan meninggalkan dolar setelah terkena sejumlah sanksi baru terkait perjanjian nuklir yang telah diteken AS pada 2015 namun ditinggalkan pada era pemerintahan Presiden Donald Trump.

Selama ini, dolar menjadi mata uang utama untuk transaksi berbagai komoditas dunia seperti minyak, gas, dan tembaga.

Baik Rusia dan Iran merupakan eksportir besar minyak, yang menjadi target dari sanksi AS,” begitu dilansir Radio Free Europe.

Pada saat yang sama, Cina telah berupaya bertahun-tahun meninggalkan penggunaan dolar sebagai mata uang global. Apalagi, Cina sedang terlibat perang dengan AS dengan kedua negara masing-masing menaikkan tarif impor.

Ilustrasi mata uang dolar AS dan yuan Cina. REUTERS/Jason Lee

Mata uang yuan disebut-sebut sebagai alternatif pengganti dolar dalam perdagangan global.

Menteri Energi Rusia, Aleksandr Novak, mengatakan sejumlah negara mulai tertarik mengganti posisi dolar sebagai alat pembayaran perdagangan minyak dan komoditas lainnya secara global.

“Ada pemahaman bersama bahwa kita perlu bergerak maju dengan menggunakan mata uang nasional kita sebagai alat pembayaran,” kata Novak. “Ini menyangkut kepentingan Turki dan Iran. Kami sedang mempertimbangkan opsi pembayaran menggunakan mata uang nasional dengan mereka.”

Menurut Novak, penggunaan mata uang nasional sebagai alat pembayaran perdagangan bilateral akan membutuhkan sejumlah penyesuaian dalam sektor finansial, ekonomi, dan perbankan.

Mata uang Lira Turki [REUTERS]

Menurut Radio Free Europe, Turki dan Iran telah menandatangani kesepakatan penggunaan mata uang nasional untuk perdagangan bilateral kedua negara pada tahun lalu. Hubungan AS dengan Turki juga memburuk seperti halnya AS dengan Iran dan Rusia sejak Trump terpilih sebagai Presiden.

Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, disebut-sebut telah bertemu dan membahas rencana penggunaan mata uang nasional sebagai respon atas berbagai sanksi dari AS. (ny/sumber/Tempo.co)