Penembakan Massal Sering Terjadi di Amerika, Sebagian Besar Pelakunya Tak Derita Penyakit Mental

WASHINGTON (aksi.id) - Pada novel The Shining karya Stephen King, karakter Jack Torrance menjadi ikon tokoh pembunuh gila dalam kisah horor yang tidak bisa lagi membedakan realitas dari halusinasi.
Ketika Jack perlahan-lahan beralih ke dalam kegilaan, dia berteman dengan sejumlah roh pembunuh yang akhirnya meyakinkan dia untuk membunuh istri dan putranya—atau setidaknya tewas dalam upaya melakukannya.
Penonton dapat menyimpulkan bahwa Jack menjadi korban kekuatan supranatural jahat yang menempati hotel terkenal di cerita itu.
Penonton juga mungkin menafsirkan peralihan Jack ke kegilaannya karena dia sakit jiwa—mungkin skizofrenia—dan terjebak dalam episode psikotik yang penuh kekerasan.
The Shining jelas merupakan karya fiksi. Tetapi ketika berbicara tentang penyakit mental dan kekerasan, publik , media dan pembuat kebijakan sering mengalami kesulitan membedakan fakta dari fantasi.
Jajak pendapat secara konsisten mengungkapkan bahwa mayoritas orang dewasa di AS percaya bahwa orang dengan penyakit mental lebih mungkin melakukan kekerasan daripada mereka yang tidak.
Asumsi itu diperkuat setiap kali penembakan massal terjadi. Menyusul kemudian adalah seruan reformasi perawatan kesehatan mental. Tapi adakah bukti mengenai hubungan antara penembak massal dan penyakit jiwa? Apakah tindakan kekerasan ini benar-benar masalah kesehatan mental?

Jika media sosial dan berita utama sensasional menjadi panduan, ketakutan terhadap kekerasan ekstrem yang disebabkan penyakit jiwa biasa terjadi.
"Kehilangan kapasitas untuk mengendalikan pikiran atau perilaku seseorang adalah menakutkan dan asing, yang diterjemahkan menjadi ketakutan akan penyakit mental - terutama dalam manifestasinya yang lebih parah," kata Paul Appelbaum, seorang psikiater di Columbia University College of Physicians and Surgeons.
"Kita juga memiliki kecenderungan sebagai manusia untuk memberi perhatian khusus pada kejadian yang tidak biasa di lingkungan kita. Jadi ketika tindakan kekerasan dilakukan oleh orang-orang dengan penyakit mental, mereka mungkin sangat menonjol dalam pikiran kita."
Tragedi yang tiak berperikemanusiaan seperti penembakan massal juga memancing dan menuntut jawaban - terutama yang juga disertai dengan perbaikan mudah, kata Jeffrey Swanson, seorang profesor psikiater dan pakar ilmu perilaku di Fakultas Kedokteran Universitas Duke.

"Kita ingin hidup menjadi aman dan dapat diprediksi dan masuk akal," katanya.
"Reaksi normal adalah menginginkan penjelasan yang terlalu sederhana sehingga Anda dapat memasukkannya ke dalam kotak ini dan berkata, `Ah, ini penyakit mental` .. `"
Kesimpulan spontan itu problematis, lanjutnya, karena mendorong stigmatisasi lebih banyak terhadap orang yang memiliki penyakit mental, banyak di antara mereka sudah mengalami kehidupan yang sangat sulit dan sudah menghadapi diskriminasi di beberapa bidang, yaitu perumahan, pekerjaan, dan hubungan personal.
Individu yang menderita penyakit mental sebenarnya tiga kali lebih mungkin menjadi korban kekerasan daripada rata-rata orang biasa, karena mereka lebih rentan.

Memang benar bahwa beberapa penembakan massal dan tindakan kekerasan yang kejam lainnya dilakukan oleh orang-orang yang secara serius sakit jiwa.
Pada tahun 1998, misalnya, Wendell Williamson, seorang mahasiswa hukum yang kemudian didiagnosis dengan skizofrenia paranoid, menembak mati dua orang asing di jalan di Chapel Hill di North Carolina.
Williamson mengklaim tindakannya dilakukan karena dia ingin menyelamatkan dunia, dan juri akhirnya memutuskan dia tidak bersalah dengan alasan kegilaan.
Tetapi kasus-kasus seperti itu, kata Swanson, sedikit sekali.
Bahkan, hanya sedikit pembunuh massal yang didiagnosa benar-benar menderita penyakit mental serius seperti skizofrenia, gangguan bipolar dan gangguan spektrum psikotik.
Analisis tahun 2004 terhadap lebih dari 60 pembunuhan massal di Amerika Utara, misalnya, menemukan bahwa hanya 6% pelaku yang psikotik pada saat pembunuhan.
Dan ketika berbicara tentang penembakan massal, mereka yang mengidap penyakit mental bertanggung jawab atas "kurang dari 1% dari semua pembunuhan yang terkait dengan senjata tahunan ", tulis sebuah studi studi tahun 2016 dalam temuannya.
Penelitian lain mengindikasikan bahwa orang dengan gangguan mental hanya menyumbang 3-5% dari keseluruhan kekerasan di AS, (jauh lebih rendah daripada prevalensi penyakit mental pada populasi umum - hingga 18%).
Ini "masih menyisakan sekitar 96% kekerasan, bahkan jika Anda dapat menghilangkan semua orang dengan gangguan mental," Appelbaum mengungkapkan.

Selain itu, kekerasan yang dilakukan orang dengan penyakit mental serius kebanyakan adalah pelanggaran ringan, seperti serangan verbal atau memukul, bukan pembunuhan (bunuh diri, bagaimanapun, adalah masalah yang signifikan).
Pelanggaran seperti itu cenderung diarahkan pada mereka yang tinggal bersama pelaku, bukan pada orang asing dan tidak dalam skala massal.
Serangan berskala besar juga membutuhkan tingkat perencanaan dan organisasi yang sering bertentangan banyak orang dengan penyakit mental yang serius.
Sebuah studi tahun 2014, misalnya, menemukan bahwa hanya 2% dari 951 pasien yang keluar dari rumah sakit jiwa melakukan tindakan kekerasan yang melibatkan senjata, dan hanya 6% melakukan tindakan kekerasan yang melibatkan orang asing.
Pada 2011, sebuah meta analisis terhadap lebih dari 700 pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang didiagnosis psikosis mengungkapkan bahwa hanya antara 3% dan 14% dari korban adalah orang asing - sisanya dikenal oleh si pembunuh.
Tetapi bahkan dalam kasus di mana orang-orang dengan penyakit mental yang serius berubah menjadi brutal, sulit untuk mematok kejahatan mereka hanya pada diagnosis mereka, kata Swanson.
Variabel yang membingungkan seperti riwayat pelecehan ketika anak-anak atau penggunaan alkohol atau obat-obatan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan.
"Jika anda menghapus faktor risiko tambahan dan hanya melihat penyakit mental, itu hampir tidak terkait dengan kekerasan," kata Swanson.
"Ada konsensus di lapangan bahwa kontribusi unik psikopatologi terhadap kekerasan dalam populasi sangat kecil."
Namun, setelah tragedi yang tidak dapat dimengerti, implikasi dari kesimpulan itu bisa sulit diproses bagi banyak orang.
"Ketika salah satu dari penembakan massal yang mengerikan ini terjadi, orang-orang berkata, `Siapa pun yang akan melakukan hal semacam itu pasti sakit jiwa,`" kata Renee Binder, seorang profesor dan direktur program psikiatri dan hukum di Fakultas Kedokteran University of California San Francisco.
"Tetapi kita perlu berhati-hati dengan definisi kita karena, ketika ada sesuatu yang jelas salah dengan mereka, itu sering bukan penyakit mental yang serius."

Membuat tautan yang tidak akurat juga dapat mengalihkan fokus perdebatan kebijakan di AS.
Dalam perdebatan tentang pembatasan akses ke senjata api, beberapa orang alih-alih mulai berbicara tentang memperbaiki sistem perawatan kesehatan mental.
"Tiba-tiba Anda mendengar lobi tentang senjata - yang sangat kuat di negara ini dan memiliki kepentingan dalam pengaturan kepemilikan senjata api - menjadi advokat untuk perawatan kesehatan mental yang lebih baik di Amerika," kata Swanson.
"Ini adalah pengalih perhatian sehingga kami tidak berbicara tentang senjata," tambahnya.
Sulit untuk membuat profil penembak massal secara psikologis karena mereka sering melakukan bunuh diri atau terbunuh dalam serangan mereka.
Tetapi apa yang diketahui oleh para dokter dan ilmuwan adalah bahwa para pelaku dari peristiwa semacam itu acapkali merupakan pemuda yang marah, yang merasa bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil oleh masyarakat dan oleh karena itu berusaha melakukan balas dendam.

Masalahnya, bagaimanapun, adalah bahwa puluhan ribu individu cocok dengan deskripsi itu - namun sebagian besar tidak melakukan penembakan massal.
"Jika kita bisa melakukan sesuatu tentang kejantanan, kita benar-benar bisa mengurangi kekerasan dan kejahatan," kata Swanson.
"Tapi Anda tidak bisa mengumpulkan semua laki-laki."
Memprediksi siapa yang bisa berubah menjadi pembunuh massal hampir tidak mungkin, kata Swanson. Beberapa pembunuh massal bahkan telah mengunjungi psikiater sebelum melakukan serangan , tetapi tidak didiagnosis mengidap penyakit mental tertentu.
"Sebagian besar orang yang melakukan penembakan massal tidak menginginkan pengobatan dan tidak memenuhi kriteria untuk perawatan," kata Binder.
Orang-orang pun tidak bisa serta merta dirujuk ke rumah sakit jiwa hanya karena marah.
Ini berarti bahwa memperkuat perawatan bagi orang yang sakit mental (perkembangan yang disambut baik), tidak akan benar-benar menyelesaikan masalah kekerasan senjata di AS, Swanson berpendapat. Mayoritas pelaku masih akan lolos melalui sistem.
Jadi, dalam perdebatan tentang bagaimana mengurangi penembakan massal, bukti menunjukkan bahwa membingkai peristiwa-peristiwa ini disebabkan oleh penyakit mental tidak mungkin membantu mencegah serangan lebih lanjut - dan mungkin hanya berfungsi untuk mengabadikan ketakutan yang tidak terkendali pada mental yang tidak sehat yang lebih berakar pada fiksi daripada fakta.
(jasmine/sumber: BBC Indonesia).
Artikel Terkait :
Artikel Terbaru :
TERPOPULER
- Mulai 1 Juli 2025, CommuterLine Basoetta hanya 39 Menit ke Bandara Soekarno-Hatta, Tambah 70 Perjalanan Per Hari
- KAI Services Akan Tata Perparkiran di Stasiun Cikampek
- Insiden KRL dan Truk di Tangerang: KAI Imbau Masyarakat Lebih Tertib di Perlintasan Sebidang
- KAI Commuter dan DJKA Operasikan Bangunan Baru Stasiun Tanah Abang
- AstraPay Dorong Inklusi Keuangan dan Peran Generasi Muda dalam Pemulihan Ekonomi Digital
- Surabaya Unggul, KAI Logistik Perkuat Kinerja di Jawa Timur lewat Kemitraan dan Layanan Inovatif
- KAI Logistik Siapkan Strategi Hadapi Lonjakan Pengiriman Motor Selama Libur Panjang dan Tahun Ajaran Baru
- Skandal Upah dan PHK di Perum Percetakan Negara RI: Direksi PNRI Terancam Dilaporkan ke Polisi
- Catat Pertumbuhan 41% hingga Mei 2025, KAI Logistik Perluas Jangkauan Logistik Lintas Pulau Hingga ke Jayapura
- Aksi Bela Diri IPDA Hari Saktiawan Polsek Bantargebang Bikin Penonton Tegang
