press enter to search

Jum'at, 29/03/2024 01:51 WIB

Aktivis Greenpeace dan Band Boomerang Demo di Kapal Pengangkut Minyak Sawit

| Kamis, 27/09/2018 14:09 WIB
Aktivis Greenpeace dan Band Boomerang Demo di Kapal Pengangkut Minyak Sawit Aktivis Greenpeace dan band rock Boomerang melakukan aksi di kapal pengangkut minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International. Wilmar dituduh memproses minyak sawit dari produsen utama yang menghancurkan hutan di Kalimantan dan Papua. Foto : Rendra Hernawan/Greenpeace/Mongabay Indonesia

BITUNG (aksi.id) - Aktivis Greenpeace dari 7 negara menduduki kapal dan tangki minyak milik PT Multi Nabati Sulawesi (MNS), Bitung, Sulawesi Utara. Lewat aksi itu, mereka mendesak Wilmar Internasional, pedagang minyak sawit terbesar di dunia, untuk menghentikan suplai kelapa sawit yang bersumber dari perusak hutan. Sebab, berdasar investigasi Greenpeace Internasional, sebanyak 25 produsen minyak sawit telah menggunduli 130.000 hektar hutan, sejak 2015.

PT MNS dipilih sebagai titik aksi karena menjadi salah satu fasilitas kilang minyak sawit milik Wilmar. Investigasi Greenpeace Internasional menemukan, terdapat 3 kelompok produsen yang memasok kelapa sawit ke PT MNS, pada tahun 2017.

Di lokasi itu, Selasa (25/9/2018), sejak pagi hari, aktivis Greenpeace menyusuri laut dengan menggunakan perahu karet untuk menjangkau kapal dan kilang minyak. Setelah itu mereka membentangkan spanduk bertuliskan Drop Dirty Palm Oil Now, serta membuat coretan dengan simbol tanda silang di tangki minyak milik PT MNS. Mereka juga bergelantungan dibadan kapal, menuliskan Stop Deforestation Now dan membentangkan spanduk “Hentikan Minyak Sawit Kotor”.

 

23 aktivis Greenpeace dan 4 personil band rock Boomerang memblokir kilang minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi, kilang, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International. Mereka memprotes minyak sawit dari kelompok produsen yang menghancurkan hutan hujan di Papua dan Papua Nugini. Foto : Nugroho Adi Putera/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, aksi itu telah berlangsung lebih dari 7 jam. Rencananya, aksi akan berlangsung selama 12 jam dan berhenti ketika perusahaan merespon tuntutan mereka.

“Tadi pagi kami sudah kirim email ke owner Wilmar dan manajemennya, sudah telpon juga. Kami minta mereka menghubungi perusahaan yang ada di Bitung ini (PT MNS), untuk memastikan mereka tidak melakukan tindakan bodoh yang bisa mencederai aktivis,” terang Kiki yang dihubungi Mongabay Indonesia.

Disebutkan, setelah proses komunikasi itu, akan ada pertemuan antara Greenpeace dengan pihak Wilmar Internasional. Namun, Kiki belum memberi kepastian. Sebab, tuntutan Greenpeace dianggap sudah jelas, Wilmar Internasional harus menepati komitmen untuk menghentikan suplai dari perusahaan-perusahaan yang membuka hutan di Kalimantan dan Papua.

baca juga : Investigasi EoF Sebut Perusahaan-perusahaan Sawit Ini Turut Hancurkan Taman Nasional

 

Aktivis Greenpeace dan band rock Boomerang menulis kata Dirty ke kilang penyulingan minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International. Wilmar dituduh memproses minyak sawit dari produsen utama yang menghancurkan hutan di Kalimantan dan Papua. Foto : Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Mereka juga didesak untuk menepati komitmen no deforestation, no peat dan no exploitation (NDPE) di seluruh konsesi pemasok. Selain itu, Greenpeace meminta Wilmar untuk lebih transparan dalam publikasi data lokasi pabrik dan peta konsesi pada seluruh wilayah operasi mereka, serta memutus hubungan dengan semua kelompok produsen nakal.

“Kalau dari market, kami hubungi juga brand seperti Unilever, Nestle, untuk menyetop suplai dari Wilmar sampai mereka bersih dari konsesi-konsesi yang merusak hutan,” Kiki menambahkan, “Kepada publik, kami minta berpartisipasi untuk menyuarakan ini, membagikan link di sosial media, supaya lebih banyak orang yang berteriak pada Wilmar.”

baca juga : Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan

 

Aktivis Greenpeace dan band rock Boomerang melakukan aksi di kilang penyulingan minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International. Wilmar dituduh memproses minyak sawit dari produsen utama yang menghancurkan hutan di Kalimantan dan Papua. Foto : Nugroho Adi Putera/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Waya Pesik Mameru, salah satu peserta aksi mengatakan, keterlibatannya terdorong oleh kenangan masa lalu. Sebab, ketika kecil, orang tuanya pernah mengajak Waya untuk mengunjungi pulau Lembeh, Bitung, yang terkenal dengan keindahan lautnya. Namun, ia resah ketika mengetahui bahwa Bitung menjadi lokasi produksi hasil perusakan hutan.

Keresahan Waya juga disebabkan oleh beberapa merek favoritnya yang dianggap berkontribusi pada hilangnya rumah burung cenderawasih di Papua, orang utan di Kalimantan serta harimau di Sumatera.

“Ketika tubuh saya bergerak di atas perahu karet, meluncur dari pulau Lembeh tempat saya menyimpan kenangan indah, memandang Bitung dari kejauhan, dengan tangki-tangkinya yang berisi minyak kotor, saya berteriak, bukan ini pemandangan yang saya mau,” seru Waya dikutip website Greenpeace.

menarik dibaca : Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut Jadi Sawit, Beragam Masalah Ini Muncul

 

Aktivis Greenpeace dan band rock Boomerang melakukan aksi di kapal pengangkut minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International. Wilmar dituduh memproses minyak sawit dari produsen utama yang menghancurkan hutan di Kalimantan dan Papua. Foto : Rendra Hernawan/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

“Saya ingin hidup saya bersih dari minyak sawit kotor. Saya ingin produsen jahat segera berubah dan tidak lagi membuat kerusakan di hutan kita. Saya harap kamu (publik) juga mau ikut bersama kami,” tambahnya.

Grup musik Boomerang juga ikut melibatkan diri dalam aksi itu. Di atas tangki minyak mereka menyanyikan lagu berjudul “Jeda Kebodohan”. Sejak 5 tahun lalu, grup musik rock ini telah menjalin kerjasama dengan Greenpeace. Tahun 2015 Boomerang bergabung untuk membendung kanal di wilayah gambut untuk mencegah kebakaran.

“Kondisi hutan Indonesia sangat menyedihkan. Inilah yang membuat saya bersemangat terlibat dalam aksi damai ini. Semoga bisa menjadi peringatan terhadap perusahaan-perusahaan untuk lebih berhati-hati atas dampak lingkungan dari apa yang mereka buat,” kata Andi Babas, vokalis Boomerang.

 

Band rock Boomerang bernyanyi dalam aksi di atas kilang pengolahan minyak sawit di milik PT Multi Nabati Sulawesi, di Bitung, Sulut, yang merupakan bagian rantai pasok pedagang minyak sawit terbesar dunia, Wilmar International di Bitung, Sulut. Wilmar memasok merek-merek utama termasuk Colgate, Mondelez, Nestlé dan Unilever yang menghancurkan hutan hujan di Kalimantan dan Papua. Foto : Dhemas Reviyanto/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Investigasi Greenpeace

Pekan lalu, Rabu (19/9/2018), Greenpeace Internasional merilis hasil investigasi yang menyebut bahwa sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit telah menghancurkan area hutan hampir dua kali ukuran Singapura hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun. Pasokan sawit mereka masih digunakan untuk merek-merek terbesar di dunia seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive dan Mondelez.

Greenpeace Internasional juga menemukan 25 industri kelapa sawit telah menggunduli lebih dari 130.000 hektar hutan, sejak akhir 2015. Dari jumlah luasan itu, 40 persennya (51.600 hektar) berada di Papua, Indonesia.

Wilmar disebut membeli dari 18 pemasok di antara 25 grup minyak sawit tersebut. Padahal, sebelumnya, mereka sudah mengumumkan kebijakan NDPE atau kebijakan tanpa deforestasi, tanpa pembukaan gambut, tanpa eksploitasi.

Berdasarkan catatan Greenpeace, sektor perkebunan seperti sawit dan bubur kertas menyebabkan penggundulan hutan terbesar di Indonesia. Mereka memperkirakan, sekitar 24 juta hektar hujan dihancurkan di Indonesia, antara tahun 1990 hingga 2015.

Deforestasi dan perusakan lahan gambut juga dianggap sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Indonesia disebut menjadi penghasil emisi global tertinggi, di samping Amerika Serikat dan Tiongkok.

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Selain itu, masih menurut catatan Greenpeace, pengembangan perkebunan adalah penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia menduga, asap kebakaran hutan tahun 2015 telah menyebabkan 100.000 kematian prematur. Sementara, berdasar hitungan Bank Dunia, biaya bencana akibat kebakaran itu diperkirakan sebesar 16 miliar USD.

 

Klarifikasi Wilmar

Wilmar Internasional, dalam rilis yang dimuat di website resminya menyebut, aksi Greenpeace di kilang minyak sawit di Bitung, bukan saja sebagai tindakan kriminal tapi juga dapat membahayakan keselamatan aktivis, serta para pekerja di sana. Karenanya, mereka meminta Greenpeace bertindak kolaboratif untuk bersama-sama memperbaiki industri kelapa sawit.

Wilmar juga mengklarifikasi hasil investigasi yang dibuat Greenpeace. Dari 25 perusahaan yang terdaftar, Wilmar hanya membeli dari 13 pemasok, bukan 18. Dari 13 perusahaan itu, 2 di antaranya menegaskan bahwa konsesi yang disebutkan dalam laporan bukan milik mereka.

Greenpeace disebut memilih Wilmar dalam laporan itu dengan pertimbangan ukuran dan skala operasi, namun mengabaikan fakta bahwa deforestasi disebabkan oleh pemasok tanpa komitmen NDPE.

“Greenpeace sebagai pemangku kepentingan utama, juga harus berkontribusi menemukan solusi, membantu seluruh industri untuk mendukung dan membeli hanya dari perusahaan-perusahaan yang patuh pada NDPE,” jelas Wilmar.

(lia/sumber: mongabay.co.id).