press enter to search

Kamis, 28/03/2024 21:25 WIB

Perdana Menteri Australia Minta Maaf Atas Pelecehan Seksual Ribuan Anak

| Senin, 22/10/2018 19:51 WIB
Perdana Menteri Australia Minta Maaf Atas Pelecehan Seksual Ribuan Anak Perdana Menteri Australia Scott Morrison

CANBERRA (aksi.id) - Perdana Menteri Scott Morrison menyampaikan permintaan maaf atas nama bangsa Australia kepada anak-anak korban pelecehan seksual di negeri itu.

Ratusan orang berkumpul di Canberra pada hari Senin (22/10) untuk menyimak pidato emosional Morrisson itu yang disampaikan di parlemen.

"Hari ini, kita akhirnya mengakui dan menanggapi jeritan yang hilang dari anak-anak kita," katanya.

"Kita harus dengan rendah hati bersimpuh di hadapan orang-orang yang diabaikan ini dan memohon permintaan maaf kita."

Permintaan maaf ini menindak-lanjuti hasil penyelidikan selama lima tahun yang menyimpulkan bahwa selama beberapa dekade, puluhan ribu anak telah mengalami pelecehan di berbagai lembaga masyarakat, dan terbanyak di lembaga Katolik.

Penyelidikan yang dituntaskan Desember lalu, mengumpulkan kesaksian lebih dari 8.000 korban pelecehan seksual dalam organisasi seperti gereja, sekolah dan klub olahraga.

Dengan suaranya yang terkadang bergetar, Morrison mengakui betapa menderitanya para korban dan mengutuk kegagalan institusional dalam menanganinya.

"Mengapa tangisan anak-anak dan para orang tua itu diabaikan? Mengapa sistem keadilan kita buta terhadap ketidakadilan? Mengapa begitu lama berlalu, baru bertindak?" katanya.

Presentational grey line
`Kejahatan dan kegelapan` - kutipan dari permintaan maaf PM

Saat seorang korban baru-baru ini berkata kepada saya: "Yang melakukan hal ini kepada kami bukanlah musuh asing dari luar. Ini dilakukan oleh orang Australia kepada orang Australia, musuh di antara kita, musuh yang berada di tengah-tengah kita sendiri."

Musuh-musuh dari kaum tak berdosa.

Semua itu terjadi dari hari ke haridari pekan ke pekan, bulan demi bulan, dekade demi dekade, sungguh siksaan yang tak kunjunghenti.

Ketika seorang anak menceritakan nasib mereka, mereka tidak dipercaya, lalukejahatan itupun berlanjut dengan impunitas.

Seorang penyintas mengatakan kepada saya bahwa ketika dia mengabarkan pelecehan itu kepada seorang gurunya, guru itu justrumenjadi pelaku berikutnya: kepercayaandilanggarketidak-tahuan dikhianati, kekuasaan dan jabatan dieksploitasi untuk kejahatan yang keji dan gelap.

Pemimpin oposisi Bill Shorten mengatakan di parlemen: "Ada kesalahan yang tidak dapat diperbaiki. Tetapi hari ini Australia mengatakan minta maaf."

Parlemen berdiri untuk mengheningkan cipta selama satu menit sesudah pidato kedua pemimpin.

Tugas belum selesai, kata para penyintas

Berbagai kelompok mengatakan para korban dan pendukung mereka telah menempuh perjalanan dari seluruh pelosok negeri untuk mendengar permintaan maaf di Canberra.

"Mereka melakukannya dengan hati yang sangat berat," kata Leonie Sheedy, kepala eksekutif Care Leavers Australasia Network.

"Merupakan sesuatu yang dahsyat bahwa negara kita meminta maaf, tetapi masih begitu banyak tugas yang harus diselesaikan." 

Seorang penyintas mengatakan kepada BBC: "Saya senang mendengar (permintaan maaf) itu. Setidaknya kami masih hidup sehingga bisa mendengarnya."

Sebelumnya, banyak korban mengecam tanggapan pemerintah terhadap hasil penyelidikan itu - terutama ketentuan untuk skema kompensasi nasional.

Setiap korban bisa mengajukan permohonan ganti rugi hingga $150.000 (Rp1,5 miliar).

PM Morrison mengatakan pemerintah menerima sebagian besar rekomendasi penyelidikan, tetapi masih mempertimbangkan beberapa bagian proposal.

Dia berkomitmen untuk membangun sebuah museum untuk mendokumentasikan kisah para korban.  

Presentational grey line
 

Dalam laporan akhir disebutkan: "Ini bukan sekadar kasus beberapa butir `apel busuk,` melainkan persoalan menyeluruh. Lembaga-lembaga besar di masyarakat telah benar-benar gagal."

Mereka mengatakan lebih dari 15.000 orang menghubungi mereka, membuat tuduhan meningkat jadi meliputi lebih dari 4.000 institusi.

Para pemuka agama dan guru sekolah adalah pelaku yang paling sering dilaporkan. Kasus terbanyak berada di institusi Katolik.

Bulan Agustus lalu, Gereja Katolik secara resmi menolak satu rekomendasi komisi penyelidik, bahwa imam harus dipaksa untuk melaporkan pelecehan seksual yang diungkapkan selama pengakuan.

Sumbwr: BBC Indonesia.