press enter to search

Kamis, 28/03/2024 15:28 WIB

Cakupan Begitu Luas UU ITE, Ratusan Warga Jadi Korban

| Selasa, 20/11/2018 07:28 WIB
Cakupan Begitu Luas  UU ITE, Ratusan  Warga Jadi Korban

JAKARTA (aksi.id) - Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik ITE yang diberlakukan sejak tahun 2008 awalnya dibuat untuk menjamin hak dan kebebasan orang menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara bertanggungjawab.

Pasal 1 UU No.11 Tahun 2008 itu mendefinisikan “informasi elektronik” tidak saja terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, dan foto; tetapi juga electronic data interchange EDI, surat elektronik (email), telegram, teleks, telecopy, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki arti atau dapat dipahami. Siapa saja yang merasa dirugikan oleh “informasi elektronik” yang dikumpulkan, disiapkan, disimpan, diproses, diumumkan, dianalisa dan/atau disebarkan orang lain, dapat dijerat UU ITE ini.

Cakupan yang begitu luas membuat banyak orang menjadi “korban.” Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebutkan bahwa sejak 2008 hingga Oktober 2018, ada 381 orang yang terjerat UU ITE di Indonesia. Hampir 90 persen dari jumlah tersebut dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya adalah ujaran kebencian.

Data dari SAFEnet menunjukkan bahwa 47,35 persen kasus berakhir di kepolisian akibat kurangnya bukti. Lagipula, kemungkinan lolos dari jeratan kasus tersebut pun kecil, hanya hanya sedikit sekali, mengapa? Karena UU ITE seakan-akan menjadi favorit bagi pihak-pihak yang ingin mengaburkan masalah utama. Kebanyakan dari pelapor adalah mereka yang punya kuasa. Kasus pelecehan seksual yang direkam dan dialami ibu Nuril misalnya, menjadi kabur ketika ia dilaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik. Begitu pula hasil laporan Zakki. Perkara plagiat malah tak lagi jadi fokus.

 

Berikut beberapa korbam IU ITE,  di antaranya.

Prita Mulyasari, Pasien Rumah Sakit, Tangerang, 2008-2012

Prita bisa disebut sebagai orang pertama yang dijerat UU ITE, karena terjadi hanya satu tahun setelah UU No.11 Tahun 2008 itu diberlakukan. Prita dilaporkan oleh RS Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, karena mengirim surat elektronik atau email yang berisi keluhan atas layanan rumah sakit itu kepada beberapa rekannya. Ketika proses hukum bergulir Prita sempat ditahan di Lapas Perempuan Tangerang.

Prita Mulyasari dan sumbangan dari para pendukungannya untuk membayar denda yang dituntut oleh RS Omni International.
Prita Mulyasari dan sumbangan dari para pendukungannya untuk membayar denda yang dituntut oleh RS Omni International.

 

Pengadilan Negeri Tangerang mewajibkan Prita membayar denda 204 juta rupiah kepada RS Omni, dan putusan ini dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten. Putusan ini memicu simpati publik yang kemudian membentuk kelompok ‘’Koin Untuk Prita’’ yang akhirnya berhasil mengumpulkan Rp. 825.728.550 – empat kali lipat dibanding denda yag harus dibayar Prita.

Melihat dukungan yang sangat besar itu, RS Omni mencabut gugatan perdata atas Prita sehingga ia terbebas dari kewajiban membayar denda.

Namun di tingkat kasasi Prita tetap dinyatakan bersalah dan dipidana enam bulan penjara. Baru pada tahun 2012 Mahkamah Agung menyatakan Prita tidak bersalah.

Muhammad Arsyad, Aktivis, Makassar, 2013-2014

Aktivis anti-korupsi ini diperiksa selama tiga hari di Polda Sulawesi Selatan dan dipenjara selama 100 hari di rutan Makassar setelah dituduh melanggar UU ITE pada tahun 2013 lalu.

Ia dilaporkan oleh seorang anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar karena menulis pernyataan di Blackberry Messenger BBM yang dinilai mencemarkan nama baik pengusaha Nurdin Halid.

Belum jelas bagaimana tulisan “No fear, Nurdin Halid koruptor! Jangan pilih adik koruptor!” itu tersebar luas, tetapi sebelum dijerat UU ITE ini, Arsyad juga dituduh menghina keluarga Nurdin Halid ketika menjadi narasumber di Studio Celebes TV Makassar pada 24 Juni 2013. Setelah siaran Arsyad dikeroyok sekelompok orang. Pelaku sempat ditahan, tetapi dibebaskan tak lama berselang.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad

 

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada 28 Mei 2014 Arsyad dibebaskan dari seluruh tuntutan jaksa karena tidak ada bukti kuat tentang kebenaran status BBM tersebut.

“UU ITE yang diberlakukan pada tahun 2008 ini harus dicabut karena jika masih ada, tindak kriminalisasi terhadap warga masyarakat masih akan terus terjadi. Hari ini menjerat Ibu Baiq Nuril, lima tahun lalu menjerat saya, delapan tahun lalu menjerat Ibu Prita; bukan tidak mungkin besok, minggu depan, bulan depan atau tahun depan menjerat Anda karena menyampaikan keluhan atau kritik atau curhat terhadap orang atau pihak lain. Hingga hari ini sudah 300 orang lebih jadi korban,” ujar Arsyad kepada VOA.

Muhammad Arsyad kini menjadi Ketua Paguyuban Korban UU ITE.

Anindya Joediono, Mahasiswa, Surabaya, 2018

Anindya Joediono, mahasiswa semester V Universitas Narotama, Surabaya, ketika berdemonstrasi menentang penggusuran Pasar Pandugo, Surabaya, (6/8/2018).
Anindya Joediono, mahasiswa semester V Universitas Narotama, Surabaya, ketika berdemonstrasi menentang penggusuran Pasar Pandugo, Surabaya, (6/8/2018).

 

Aktivis Front Mahasiswa Nasional Universitas Narotama ini dijerat UU ITE karena mengunggah ‘curhat’ lewat akun Facebook pribadi, yang mengisahkan kronologi penggerebekan di asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan 10 Tambaksari, Surabaya, oleh aparat keamanan Juli 2018, dan pelecehan seksual yang dialaminya.

Anindya menilai penggerebekan itu hanya untuk menghentikan diskusi tentang pelanggaran HAM di Papua, karena aparat gabung yang terdiri dari polisi, TNI dan Satpol PP ketika itu tidak dapat menunjukkan surat perintah penggerebekan mereka. Ketika kemudian diperiksa, Anindya dilecehkan secara seksual dan diseret beramai-ramai. Anindya menuliskan kronologi yang dialaminya di Facebook.

Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya IKBPS Pieter F. Rumaseb, yang membantah adanya pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap mahasiswa dalam operasi penggerebekan itu, melaporkan Anindya ke otorita berwenang. Hingga kini kasusnya masih berjalan. Anindya, mahasiswa semester lima Universitas Narotama, kini masih berstatus saksi.

“Saya berharap tuntutan terhadap saya dicabut. Juga agar pemerintah serius merevisi UU ITE, terutama pasal-pasal karet yang berisi soal pencemaran nama baik. Harus ada definisi yang lebih rigid apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik,” tegas Anindya ketika diwawancarai VOA Minggu malam (18/11).

Baiq Nuril Makmun, Guru, Mataram, 2018

Baiq Nuril
Baiq Nuril

 

Baiq Nuril dijerat karena pada tahun 2012, ketika masih menjadi guru honorer di SMAN 7 Mataram, ia merekam pembicaraan telpon Kepala Sekolah – inisial M – yang menceritakan pengalaman seksualnya bersama perempuan lain yang bukan istrinya, disertai kalimat-kalimat bernada pelecehan terhadap M.

Baiq merekam pembicaraan telpon itu karena merasa terganggu dan dilecehkan M; dan sekaligus membantah kabar tak sedap bahwa ia memiliki hubungan gelap dengan M.

Dalam persidangan terungkap bahwa Baiq Nuril menceritakan soal rekaman ini kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin, yang kemudian disebarkan hingga ke Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram. Ironisnya M justru melaporkan Baiq Nuril ke polisi, bukan Imam yang menyebarluaskan rekaman.

Pengadilan Negeri Mataram pada Juli 2017 memutuskan Baiq Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota, tetapi jaksa mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada 26 September memutus Baiq Nuril bersalah, menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah subsider tiga bulan penjara. (VOA/vice.com).