press enter to search

Kamis, 25/04/2024 16:33 WIB

Pernyataan Prabowo Soal Kemiskinan, Ini Realitanya

| Rabu, 16/01/2019 07:44 WIB
Pernyataan Prabowo Soal Kemiskinan, Ini Realitanya Prabowo Subianto memberi hormat kepada SBY

JAKARTA (aksi.id) - Calon Presiden Prabowi Subianto kembali mengangkat persoalan kemiskina  Indonesia. Dalam pidatonya awal pekan ini, Prabowo berujar perbaikan tingkat kemiskinan RI kalah cepat dibandingkan China dan India, termasuk Vietnam dan Thailand.

"Negara lain sedang bangkit. China, kemiskinan, dalam 40 tahun mereka hilangkan. Vietnam bangkit. Thailand bangkit, India bangkit," ujarnya dalam pidato tersebut. 

Menurut dia, salah satu biang keladi lambatnya penurunan kemiskinan Indonesia karena pembangunan sektor industri yang mandek. Bahkan, mengarah ke deindustrialisasi. 

Celetukan itu mungkin ada benarnya. Namun, jika membandingkan kemiskinan Indonesia dengan negara lainnya, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal bilang Prabowo perlu kajian lebih dalam. Sebab, kemiskinan suatu negara dipengaruhi banyak faktor. 

"Yang saya tangkap, mungkin maksudnya terjadi penurunan jumlah penduduk miskin yang lebih lambat. Sementara, Vietnam dan Thailand turun lebih cepat. Tetapi, ini bukan hanya dari sisi ekonomi saja, jumlah penduduk juga," ujarnya kepadaCNNIndonesia.com, Selasa (15/1) malam. 

Memang, ia menyebut pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa saja mengerek pendapatan per kapita masyarakat. Ujung-ujungnya, bisa menjauhkan masyarakat dari batas garis kemiskinan. 

Namun, pertumbuhan ekonomi pun memiliki banyak variabel yang mempengaruhi. Misal, ekonomi suatu negara dan dunia, aliran investasi, tingkat konsumsi masyarakat, dan lainnya. Perlu dilihat juga bahwa persentase masyarakat miskin suatu negara sangat bergantung pula pada berapa banyak populasi penduduknya. 

Terkait lambatnya pertumbuhan industri, Faisal boleh sepakat dengan Prabowo. China, misalnya, sukses menurunkan tingkat kemiskinan dan mengimbangi tingkat pendapatan masyarakatnya yang bejibun karena sukses membangun industri manufaktur. 

Pembangunan itu membuat masyarakat memiliki pekerjaan sebagai sumber pendapatan yang lebih pasti dan berkelanjutan ketimbang bergantung pada bantuan sosial semata. "Dampak lanjutannya, pembangunan industri manufaktur tak hanya menyerap tenaga kerja, tapi juga investasi. Lalu, roda industri lebih kencang," jelasnya. 

Hal itu dinilai berbeda dengan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang sangat menggantungkan diri pada bansos pemerintah dalam menekan tingkat kemiskinan. Lihatlah, Program Keluarga Harapan (PKH), dana padat karya tunai, beras sejahtera, hingga jaminan di bidang kesehatan dan pendidikan. 

Memang, tingkat kemiskinan akhirnya turun, bahkan mencetak rekor terendahnya sepanjang sejarah, yakni 25,67 juta penduduk atau berkisar 9,66 persen dari total populasi Indonesia pada September 2018. 

"Tapi, seharusnya pemerintah memberi lapangan pekerjaan, sehingga masyarakat juga berperan aktif dan mandiri untuk keluar dari kemiskinan. Kalau bansos, kekhawatirannya masyarakat terus-terusan ketergantungan," terang Faisal. 

Kekurangan lain dari bansos, ia melanjutkan minimnya pendataan terhadap si miskin yang berhasil naik kelas dari bansos tersebut. Tak heran, penurunan jumlah si miskin setiap tahunnya tak sejalan dengan jumlah penduduk yang menerima bansos. 

Ekonom UI Telisa Aulia Falianty berpendapat serupa. Ia menilai penurunan kemiskinan di Indonesia terasa semu karena banyak bergantung pada bansos. Meskipun, hal itu tidak sepenuhnya salah. Memang, pendekatan penurunan tingkat kemiskinan masing-masing negara berbeda-beda. 

Hanya saja, seharusnya pemerintah menata lagi peta jalan penurunan tingkat kemiskinan yang lebih mendalam. Khususnya yang fokus pada penciptaan lapangan kerja dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 

Sementara, CNNIndonesia.com berusaha membandingkan data-data terkait mengenai tingkat kemiskinan dan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dengan beberapa negara yang disinggung Prabowo. 

Ujaran Prabowo soal Kemiskinan dan RealitanyaPerbandingan jumlah penduduk, pendapatan per kapita, dan pertumbuhan ekonomi RI, China, Vietnam, dan Thailand. (CNN Indonesia/Timothy Loen).


Berdasarkan data Bank Dunia periode 2016, persentase penduduk Indonesia dengan pengeluaran sebesar US$1,9 per hari sebanyak 6,5 persen dari total populasi yang mencapai 261,1 juta orang. Artinya, ada 16,97 juta orang Indonesia yang berpengeluaran rendah pada 2016. 

Sementara pada tahun yang sama, jumlah penduduk Vietnam yang pengeluarannya hanya sekitar US$1,9 per hari ada sebanyak 2 persen dari total populasi 94,6 juta orang atau sekitar 1,89 juta orang. 

Meski begitu, tingkat pendapatan per kapita Indonesia lebih tinggi dari Vietnam pada 2016. Tercatat, pendapatan per kapita Indonesia senilai US$3.410 per kapita. Sementara, Vietnam sebesar US$2.060 per kapita. Namun, pertumbuhan ekonomi Vietnam telah mencapai 6,2 persen pada 2016. Sedangkan Indonesia hanya di kisaran 5 persen.

 

(uli/bir

Keyword Kemiskinan