press enter to search

Kamis, 25/04/2024 03:43 WIB

Martabak Telur dari India ke Lebaksiu Tegal untuk Indonesia

Redaksi | Jum'at, 01/03/2019 11:25 WIB
Martabak Telur dari India ke Lebaksiu Tegal untuk Indonesia Martabak Lebaksiu, Tegal. (ist)

TEGAL (Aksi.id) - Zaenal, 40 tahun, sore itu sibuk melayani pembeli. Kedua tangannya lincah membanting-banting adonan tepung terigu. Dia memipihkan adonan tersebut hingga sangat tipis. Setelah itu, adonan tersebut dimasukkan ke wajan lebar berisi minyak panas. Tak lupa, dia memasukkan campuran telur, daging dan daun bawang teropong ke tengah adonan berdiameter sekitar 40 sentimeter itu.

Setelah melipatnya hingga matang, lalu diangkat. Dan hemm.. bau sedap nan gurih semerbak menyeruak di udara. Ya, martabak telur spesial siap disantap.

Nah, masyarakat di Indonesia sepertinya sudah tidak asing lagi dengan martabak jenis ini. Makanan dengan adonan tepung, lalu dicampur telur dan daging serta sayuran tersebut mudah ditemukan di pinggir jalan raya. Martabak ini biasanya disajikan bersama cabai dan asinan timun.

Membahas soal martabak tidak akan lepas dengan nama Desa Lebaksiu, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Dari desa inilah, sejak dulu sudah bermunculan pedagang-pedagang martabak yang berjualan di hampir semua daerah di Indonesia. Hingga akhirnya, Lebaksiu saat ini dikenal sebagai Kampung Martabak.

Kisah tentang martabak ini berawal saat Tuan Abdullah, warga asli India, mempersunting Masni, perempuan asal Desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan Lebaksiu. Saat itu, sekitar tahun 1955, Abdullah yang memang sudah berprofesi sebagai pedagang martabak mengajak serta saudara-saudara Masni untuk ikut berjualan di Jakarta.

Siti Aminah, 64 tahun, keponakan Masni menceritakan bagaimana kisah budenya bertemu dan menikah dengan Tuan Abdullah. Wanita paruh baya tersebut menceritakan saat itu Masni bertemu dengan Abdullah ketika di sebuah pasar malam di Jakarta.

"Waktu itu uwak saya dikenalkan dengan Abdullah yang sedang berjualan martabak. Ketemu pertamakali di Pasar Malam Jakarta. Setelah bertemu uwak, kemudian pindah dan bikin rumah di Lebaksiu," katanya saat ditemui PanturaPost Kamis, 28 Februari 2019.

Lalu, Abdullah mulai berdagang martabak di Lebaksiu. Menggunakan peralatan dan bahan yang tradisional, Abdullah juga mempekerjakan warga lokal. "Waktu itu masih menggunakan meja, belum gerobak. Bahan-bahan pun masih menggunakan aci yang ditumbuk terlebih dahulu. Belum ada tepung terigu," kata dia.

Perlahan, usahanya pun ramai. Puncak kejayaan martabak terjadi pada 1985 hingga akhirnya tenar sampai ke luar Pulau Jawa. "Tahun 1985 masa jayanya. Banyak orang-orang di sini berjualan sampau Gorontalo, Manokwari. Termasuk suami saya. Menjelang Ramadan ada acara Dugderan di Semarang, warga di sini berangkat bersama. Nanti masuk bulan puasa pada pulang," kenangnya.

Seiring waktu berjalan, usaha martabak Abdullah berkembang pesat. Banyak warga yang menjadi anak buah Abdullah dan belajar bagaimana berbisnis makanan tersebut. Bagi warga yang sudah mahir membuat martabak, mereka berinisiatif untuk mandiri. “Malah Tuan Abdullah itu kasih modal ke warga sini agar usaha martabaknya bisa berkembang,” katanya.

Abdullah wafat di usia 60 tahun dengan meninggalkan empat anak. Mereka adalah Muhammad, Halimah, Fatimah, dan Musa Abdullah. Dari empat anaknya tersebut, hanya dua orang yang meneruskan profesi bapaknya. Yakni Muhammad dan Musa.

“Saat ini yang masih hidup hanya Musa. Dia buka restoran di Jakarta dengan menu martabak juga. Kalau dua anak perempuannya tidak meneruskan jualan martabak karena ikut suami mereka,” terangnya.

Pengusaha martabak di Lebaksiu yang sudah cukup senior, Asrofi, mengatakan awalnya martabak yang dibawa oleh Abdullah menunya sangat sederhana. Yakni adonan tepung, lalu dicampur dengan daun bawang. Setelah itu digoreng. “Jadi dulu itu martabaknya kalau dimakan ambrol karena tidak ada perekatnya,” katanya.

Kemudian pada medio 1970-an, rasa dan tekstur martabak mengalami perubahan. Warga Lebaksiu berinovasi dengan berkreasi rasa sesuai lidah warga lokal. Asrofi mengungkapkan, inovasi dalam rasa martabak yang dilakukan seperti menambah bahan pembuatan dan bumbu martabak.

"Inovasinya seperti menambah telur, daging, dan bumbu rempah-rempah dalam membuat martabak. Kalau martabak India kan hanya adonan terigu dan daun bawang teropong saja. Khusus rempah-rempah ada 15 macam yang biasa kita beri, agar aromanya harum," bebernya.

Menurut Asrofi, Tuan Abdullah sangat berjasa terhadap perkembangan perekonomian warga Lebaksiu. Warga yang dulu hanya mengandalkan profesi petani, kini berkembang menjadi pengusaha martabak. Dari situlah, regenerasi terus berjalan. Mereka ingin mandiri berdagang martabak, bisa belajar dengan yang sudah berpengalaman. Jika telah mahir, mereka bisa membuka usahanya sendiri.

“Pastinya kan enggak bakalan terus-terusan menjadi anak buah," ungkap dia.

Fenomena itu pun diikuti oleh warga Lebaksiu lainnya. Bahkan mereka berani merantau ke berbagai daerah di Indonesia untuk berjualan martabak. Asrofi yang pernah menjadi pengurus paguyuban pedagang martabak lebaksiu itu memprediksi, jumlah pedagang martabak asal Lebaksiu dan sekitarnya mencapai 10.000 orang. Mereka tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dari Aceh hingga Papua.

Menurut Asrofi, dengan semakin banyaknya jumlah pedagang martabak yang tersebar di Indonesia, maka kemudian dibentuklah Assosiasi Pedagang Martabak dan Jajanan (Almarjan) Indonesia di rumah Musa Abdullah pada 21 Pebruari 2007. Saat itu Asrofi didapuk sebagai bendahara paguyuban.

Pulang Kampung

Asrofi sendiri juga pernah merantau keliling ke berbagai kota untuk berjualan martabak. Di antaranya seperti Malang, Purwokerto, dan Bumiayu. Saat ini dia memilih untuk pulang kampung dan mengembangkan usahanya di Tegal. “Sekarang banyak juga yang balik kampung berdagang di sini. Dulu itu di sepanjang jalan Lebaksu cuma ada 2-3 orang yang jualan. Sekarang bisa sampai 15-20 orang,” katanya.

Kembali ke Zaenal. Dia mulai merintis sebagai penjual martabak pangkalan sejak tahun 2008. Waktu itu dia juga berdagang di berbagai daerah seperti Solo, Sragen, dan terakhir sekarang dia di Lebaksiu. “Sebelum jualan pangkalan saya jualan keliling dari pasar malam ke pasar malam. Di Kebumen, Purwokerto, dama Cilacap,” katanya.

Dia mengaku masih bertahan jualan martabak karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam sehari, omzet penjualannya bisa mencapai Rp 1 juta. “Itu sudah sama martabak manisnya ya. Ya lumayan bisa buat kebutuhan keluarga,” katanya.

Hal yang sama dialami oleh Sama’i, 41 tahun. Sam panggilan akbrab Sama’i mengaku sudah hampir 20 tahun berprofesi sebagai penjual martabak. pria yang juga asli Desa Lebaksiu itu memilih pulang kampung untuk mengembangkan usaha martabaknya.

Dia baru setahun mangkal di pertigaan Desa Kaligayam, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. Sebelumnya, dia mangkal di daerah Palmerah, Jakarta. “Kalau di sini saya masih baru. Omzetnya paling Rp 300 ribu per hari. Kalau dulu di Jakarta lebih banyak,” katanya.

Meski begitu, dengan penghasilan itu dia bisa memenuhi kebutuhan anak dan istri.

Para penjual martabak seperti Zaenal dan Sama`i saat ini masih bertebaran di berbagai daerah di Indonesia. Menurut Asrofi, mereka mangkal di wilayah pinggiran kecamatan. Mereka jarang yang mangkal di tengah kota. Karena persoalan regulasi daerah yang kebanyakan tidak memperbolehkannya. "Misal di Semarang, kebanyakan di daerah Ngaliyan, Genuk. Terus di daerah Solo mangkalnya perbatasan Karanganyar, Sragen," katanya.

Nah, jadi, kapan terakhir kamu makan martabak lebaksiu? atau belum pernah? Yuk dicoba. (ds/sumber panturapost.id/kumparan)