press enter to search

Selasa, 16/04/2024 23:44 WIB

Fenomena Toleransi Bergama di Indonesia Terkini

| Rabu, 15/05/2019 11:02 WIB
Fenomena Toleransi Bergama di Indonesia Terkini

JAKARTA (Aksi.id) -  Sekretaris jenderal PP Muhamamditah Dr. H.Abudl Mu`ti melihat fenomena dalam hal toleransi di Indonesia tekini. Dia  melihat indeks kerukunan antar umat beragama di Indonesia sudah sangat maju,  yaitu di atas angka 70. Namun, fenomena sebaliknya terjadi, yaitu gejala intoleransi yang tinggi di internal umat beragama.

"Misalnya konflik antar kelompok di dalam Islam. “Umat Islam kalau konflik sangat terbuka”, kata Abdul MU`ti di Jakarta, kemarin.


Inilah tantangan yang dihadapi saat ini. Terdapat gejala di kalangan umat bergerak ke arah ekstrim, baik ke kanan maupun ke kiri. Ekstrim kanan  beragama secara eksklusif dan menganggap orang diluar kelompoknya masuk neraka.

Sementara ekstrim kiri, menganggap teks tidak penting. Terjadilah kontestasi,  pemenangnya kelompok tengahan yang tegas dan toleran. Walaupun kelompok ini sering dianggap lembek. “Jadi ada realitas keumatan cenderung ekstrim bahkan radikal”, jelas Mu’ti. 

Ada Lima Penyebab.

Pertama, menurut Mu`t adanya akumulasi kekecewaan dan eskalasi  berbagai masalah yang pemerintah tidak aspiratif, dan tidak protektif tehadap minoritas. 

Kedua, aparat cenderung represif bahkan preemptif, termasuk dalam mengadili fikiran. Tokoh tertentu bergerak langsung ditersangkakan, dianggap makar.


Ketiga, terang Mu`ti adalah parpol  berbasis Islam kurang aspiratif terhadap umat. Menjadikan umat turun ke jalan, demo dengan simbol keagamaan.  

Keempat, umat sering diperalat oleh elit. Jumlah dukungan massa dijadikan dukungan politik. Elit merasa mendapat dukungan besar dari umat yang diperalat. 

Kelima,  miskin strategi. Kalau dakwah selalu pendekatannya tradisional menggunakan mega phone, suara keras jamaahnya sedikit.

Persaingan antara organisasi islam yang sudah mapan seperti Muhammadiyah dan NU dengan organisasi yang baru bangkit sekarang ini, karena mereka  tidak mau berorganisasi, tetapi bergerombol dan kemudian membuat organisasi baru.

Atau Abdul Mu’ti menyebutnya gerakan hibrida, yang memiliki ciri ustadz hibrida juga. Organisasi demikian rentan didomplengi orang politik. “Gurunya tidak jelas, namun ganteng dan milenial, isinya tidak jelas”,  tegas Mu’ti.(helmi)

Keyword

Artikel Terkait :

-