press enter to search

Jum'at, 29/03/2024 08:46 WIB

Hukuman Kebiri Kimia Belum Bisa Diterapkan Tanpa Petunjuk Teknis

Redaksi | Selasa, 27/08/2019 14:58 WIB
Hukuman Kebiri Kimia Belum Bisa Diterapkan Tanpa Petunjuk Teknis Perangkat pengebirian terbuat dari baja dan diproduksi di London antara tahun 1867-1900. (ist)

JAKARTA (Aksi.id) - Hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto kepada pelaku pemerkosaan anak, Aris, belum bisa dieksekusi karena belum adanya petunjuk teknis, sementara Ikatan Dokter Indonesia menyebut praktek itu melanggar sumpah dokter.

Kejaksaan Agung mengatakan dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memutuskan siapa pelaksananya dan seperti apa mekanismenya.

Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu, menyebut belum bisa mengeksekusi putusan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto yang memutus hukuman tambahan berupa kebiri kimia terhadap pelaku pemerkosa anak, Muh. Aris.

Nuguroho mengatakan, belum ada petunjuk teknis dari Kejaksaan Agung meski kebiri kimia telah dilegalkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

"Jadi sekarang ini sedang kami mintakan petunjuk dalam rangka konsultasi ke pimpinan dalam rangka pelaksanaannya," ujar Nugroho Wisnu, Senin (26/8).

Nugrono Wisnu juga mengaku tidak menyangka jika hakim akan menjatuhkan vonis tambahan tersebut.

Dia mengatakan, sebelumnya jaksa penuntut telah mengancam pelaku dengan hukuman penjara cukup berat yaitu 17 tahun dan denda Rp100 juta atau subsider enam bulan kurungan.

Apa yang dimaksud dengan kebiri kimia?

Jaksa Agung tegaskan hukuman kebiri diatur UU

"Tidak menyangka, karena kami tidak menuntut terdakwa dilakukan kebiri kimia. Ya karena karena pertimbangan jaksa memang tidak perlu. Hanya pidana badan, denda, dan subsider saja," jelasnya.

Kini pelaku, kata Nugroho, telah menjalani hukuman penjara, sementara eksekusi kebiri kimia segera dilakukan begitu petunjuk teknis dari Kejaksaan Agung keluar.

"Jadi kalau pelaksanaan putusan hakim, wajib bagi kami lakukan. Nanti (kebiri kimia) dilakukan bersamaan dengan pidana penjara setelah konsultasi petunjuk dari Kejaksaan turun," pungkasnya.

Vonis kebiri pelaku Aris menjadi yang pertama
Muh Aris (20) berasal dari Dusun Mengelo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Ia ditangkap polisi pada 26 Oktober 2018 atau setelah aksi terakhirnya memperkosa seorang anak terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto.

Di persidangan diketahui, pelaku melakukan aksinya sejak 2015 dengan modus sepulang kerja mencari "mangsa" lalu memerkosa korban di tempat sepi. Dalam dakwaan disebut jumlah korban pelaku, berjumlah sembilan anak.

Pada 18 Juli, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto pun memutus bersalah Aris melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta serta pidana tambahan berupa pidana kebiri kimia.

Pidana kurungan tersebut, menurut Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu, sesungguhnya lebih ringan dari tuntutan semula yakni 17 tahun.

"Pada putusan pertama di Pengadilan Negeri Mojokerto, terdakwa ajukan banding. Setelah banding diputus di Pengadian Tinggi Surabaya menguatkan PN. Setelah putusan di PT, terdakwa tidak lagi ajukan upaya hukum. Jadi sudah incraht atau memiliki kekuatan hukum tetap," kata Nugroho Wisnu.

Sementara itu, Juru bicara Kejaksaan Agung, Mukri, menyebut vonis kebiri kimia Aris menjadi yang pertama kali dijatuhkan oleh hakim sejak dilegalkan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Mukri mengatakan karena vonis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tersebut wajib dijalankan, maka Kejaksaan akan segera menyusun petunjuk teknisnya termasuk memutuskan siapa tenaga medis yang akan melakukan hukuman kebiri kimia dengan berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Koordinasi diperlukan lantaran IDI masih menyatakan menolak terlibat sebagai eksekutor karena bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

"Intinya dalam hal ini, kalaupun ada statement IDI (menolak), kita akan jelaskan. Nanti kita koordinasikan lebih lanjut. Kalau mereka tidak bisa, kita gunakan tenaga kesehatan lain," ujar Mukri kepada BBC Indonesia, Senin (26/8).

"Kan di situ (Perppu) nggak disebut eksekusi menggunakan IDI," tukasnya.

Kebiri kimia melanggar sumpah dokter
Wacana hukum kebiri kimia pertama kali mencuat pada pemerintahan mantan presiden Susilo Bambang Yudhyono. Lantas pada Mei 2016, usulan ini kembali menguat menyusul kasus pemerkosaan terhadap Yuyun, seorang siswa SMP di Bengkulu. Yuyun menjadi korban oleh pelaku yang berjumlah 14 orang.

Pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu tentang Perlindungan Anak yang menyebut tiga tambahan hukuman yakni kebiri kimia, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Jokowi berharap, Perppu itu membuat efek jera terhadap pelaku.

Namun demikian hukuman kebiri kimia menjadi problematis lantaran masih mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI, Pudjo Hartono, mengatakan pihaknya mendukung penghukuman seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan dengan landasan dampak terhadap korban yang dialami seumur hidupnya.

Hanya saja, hukuman kebiri oleh dokter berarti melanggar sumpah sokter dan kode etik kedokteran Indonesia.

"Masalah hukuman tambahan yaitu kebiri yang rasanya buat kami dari IDI karena kita bekerja dalam koridor etik, sumpah, itu yang tidak memungkinkan," ujar Pudjo Hartono kepada BBC Indonesia.

"Saat kita melakukan kajian tahun 2016, dengan referensi macam-macam apakah tindakan dengan suntik itu bisa menyelesaikan masalah? Itu kan masih tanda tanya," sambungnya.

"Jadi intinya kita semua harus ketemu lagi untuk membahas masalah ini."

Sementara itu, dokter ahli andrologi Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, menjelaskan kebiri kimia berarti menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang. Tujuannya menurunkan hormon testosteron dengan begitu gairah seksual akan hilang.

Akan tetapi, efek dari pemberian suntikan itu, kehidupan orang tersebut secara keseluruhan akan terganggu.

"Misalnya yang ringan, dia bertambah gemuk, lemak makin banyak, otot berkurang. Kemudian tulang keropos. Kalau diteruskan akan terjadi kurang darah. Fungsi kognitif terganggu. Hidupnya jadi tidak bagus," jelas Wimpie Pangkahila.

Agar betul-betul hormon testosteron tersebut menurun atau hilang, kata Wimpie, penyuntikkan dilakukan berkali-kali. Biaya yang dikeluarkan pun, bervariatif.

"Tergantung jenis obatnya, ada yang murah atau terjangkau. Kalau pakai obat yang harga terjangkau, mungkin lima kali (suntik) mulai terasa."

Tapi, ia mewanti-wanti bahwa seseorang yang telah disuntik kebiri bisa kembali normal.

"Kalau misalnya orang itu ke dokter terus dokter tidak tahu dia sedang dihukum (kebiri), dia lalu minta pertolongan maka dokter itu bisa mengembalikan hormon itu asal belum terlalu buruk," jelasnya.

"Jadi kalau dikembalikan, kembali lagi dia."

Kejaksaan disarankan minta fatwa ke MA

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Ahyani Djulfa, mengatakan hukuman kebiri kimia terancam kandas jika tidak ada dokter yang mau melaksanakan.

"Saya tidak bisa bayangkan jika pidana ini dijatuhkan tapi tidak bisa dieksekusi. Karena kan tidak mungkin selain dokter yang melakukan. Tidak mungkin bidan atau perawat," ujar Eva Ahyani.

Menurutnya untuk menengahi persoalan ini Kejaksaan Agung bisa meminta fatwa ke Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan pendapatnya atas kebiri kimia.

"Mahkamah Agung bisa memberikan pandangan atas perspektif yang berbeda tadi, tentang pemaknaan kebiri kimia. Yaitu bukan hukuman atau rehabilitasi," sambungnya.

"Jika dianggap bahwa kebiri bukan pidana tambahan tapi tindakan filosofisnya diubah, bukan mempidana tapi mengobati. Dalam perspektif itu, harusnya tidak bertentangan dengan sumpah jabatan (dokter)."

Lebih jauh Eva menilai, hukuman kebiri kimia sudah sepatutnya tidak diberlakukan di era modern saat ini. Dimana konsep "jera" terhadap pelaku kejahatan sudah berubah dari yang sifatnya retributif atau pembalasan ke rehabilitatif atau pemulihan.

"Ini (kebiri) pemikiran yang sangat klasik dan dipertanyakan efektivitasnya."

Kata dia, efek jera seperti yang diinginkan Perppu bisa digantikan dengan vonis penjara seumur hidup atau hukuman mati. (ds/sumber BBC)