press enter to search

Jum'at, 26/04/2024 00:24 WIB

Sekolah Marjinal, Murid SD Berangkat Jalan Kaki Melintasi Jurang dan Malam Hari Belajar Tanpa Listrik

Redaksi | Jum'at, 14/02/2020 10:13 WIB
Sekolah Marjinal, Murid SD Berangkat Jalan Kaki Melintasi Jurang dan Malam Hari Belajar Tanpa Listrik Murid SD jalan kaki menuju sekolah melewati hutan.

KAMPAR (Aksi.id) - Hanya ada satu bangunan di tanah lapang itu. Dikelilingi semak perdu dan pepohonan yang tumbuh liar. Dibungkus suasana kampung dan warna hijau sepanjang mata memandang.

Luas bangunan itu sekitar 6x20 meter. Dibagi menjadi tiga ruangan. Dua untuk ruang kelas, satu atau ruang yang paling sempit untuk perpustakaan. Sangat sederhana.

Ada tumpukan papan dan bambu yang dibiarkan teronggok di depan bangunan. Biasanya digunakan ibu-ibu untuk duduk.

Kalau saja tak ada bocah-bocah berpakaian seragam berlarian di pelatarannya yang luas, mungkin tak ada yang menyangka bahwa bangunan itu adalah sekolah.

Tak ada plang penanda sekolah. Tidak pula pagar, juga tiang bendera. Akan tetapi, bangunan itu tetaplah sebuah sekolah. Tempat siswa menimba ilmu.

Bangunan itu adalah SDN 010 yang berada di Dusun Sialang Harapan, Desa Batu Sasak, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Berada di perbatasan Riau dan Sumatera Barat.

Wartawan berkunjung ke sana sebelum libur panjang peringatan Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2020. Untuk mencapai daerah di balik bukit ini harus berulang kali melewati jalan berkelok dari Pekanbaru, Riau. Beberapa kali, mobil double cabin yang ditumpangi harus membelah belantara hutan.

Tak semua medan beraspal. Lebih banyak kerikil-bebatuan juga tanah liat. Ban mobil kami sempat selip di antara tanah merah basah. Hari itu hujan baru saja mengguyur akses yang dilalui.

Seketika menahan napas ketika mobil terhenti di tengah tanjakan. Mesin mobil menggeru tapi tak juga bisa melaju.

Kalau pengemudi tak cakap, barangkali malam itu sudah tergelincir. Sebab setengah meter dari mobil berhenti, ada jurang yang siap menelan. Menahan napas tak ada gunanya untuk menggerakkan mobil yang terperosok ke lumpur merah.

"Pertama kali ke sini itu 12 jam. Pergi pukul empat pagi, sampai sana pukul empat sore," cerita Ralon Manurung yang mengemudikan mobil.

Perjalanan yang dimaksud Ralon itu dilakukan pada 2017 lalu. Kini, kami bisa mencapai Desa Batu Sasak dengan enam atau paling lama delapan jam perjalanan darat dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekan Baru di pusat kota.

Menurut dia, jalan yang dilalui ini berangsur membaik. Meski yang dia maksud baik hanya beberapa bagian yang diaspal. Selebihnya tetap menyisakan lubang, belepotan tanah liat tiap kali sehabis hujan, pepak aral dan jurang-jurang tanpa pembatas jalan.

Usai jantung dipaksa berulang kali berdegup karena melihat jurang sepanjang jalan, akhirnya kami tiba di rumah warga untuk menginap. Tak begitu jauh dari sekolah.

Namun, tak ada sinyal telepon dan internet. Listrik pun mati ketika malam tiba. Hanya sinar bulan dan hutan yang terlihat saat keluar dari rumah.

Sekolah Marginal

Ralon Manurung, yang mengemudikan mobil dengan berbagai rintangan itu merupakan anggota kepolisian. Dia berpangkat Brigadir Polisi Kepala (Bripka). Biasa bertugas di Direktorat Lalu Lintas Polda Riau. Ralon sudah sering ke sekolah itu.

Semua bermula dari perjumpaan kebetulan dengan warga dusun setempat yang sedang mengumpulkan dana untuk membuka kelas baru sekolah di Sialang Harapan. Ralon menemuinya di Pekanbaru.

Tak langsung percaya saat hendak memberi sumbangan, Ralon pun terlebih dulu menyambangi sekolah. Ralon heran setengah tak percaya ketika mendapati yang disebut sekolah, ternyata lebih mirip bangunan reyot.

Tiga tahun silam, Ralon melihat sebuah bangunan berdinding papan kayu lapuk, beralas tanah dan beratap seng. Seketika ingatan Ralon beralih ke kondisi sekolahnya dulu di Kabupaten Siak puluhan tahun lalu.

"Saya juga seperti itu [sekolahnya], tapi bersama dengan suku-suku," dia melanjutkan cerita sambil memandang lurus menembus keluar kaca mobil.

SDN 010 di Dusun Sialang Harapan berdiri sekitar 2006. Warga dusun menyebutnya sekolah marginal. Sekolah ini bisa dibilang cabang dari sekolah negeri yang sesungguhnya, SDN 010 Batu Sasak. Satu-satunya sekolah dasar di kawasan tersebut.

Permukiman warga Dusun Sialang Harapan yang jauh dari SD jadi sebab munculnya sekolah marginal. Untuk mencapai SD di Batu Sasak, anak-anak Sialang Harapan harus menempuh turunan-tanjakan dan menyeberangi sungai.

Sebelum akses dibuka seperti sekarang ini, jalanan masih berupa hutan. Para orangtua tidak tega membiarkan anaknya melintasi hutan.

Jadilah, 13 tahun silam warga secara mandiri mendirikan bangunan yang akhirnya mereka sebut sekolah. Bentuknya lebih mengkhawatirkan dari yang dilihat Ralon pada 2017.

Saat itu, dindingnya dari bambu. Begitu pun teralis jendelanya. Beralas tanah. Atapnya dari rumbia, lantas belakangan berganti terpal.

Setiap kali hujan, anak murid akan kebasahan. Sementara ketika hari cerah, hawa lembab membekap dalam ruangan sekolah itu. Hujan atau matahari yang terlalu terik membuat siswa tak nyaman.

Seiring berjalannya waktu, sekolah marginal memiliki bangunan yang lebih baik. Semuanya berkat patungan dari warga dusun setempat. Namun, tetap saja jauh dari ideal.

Masih berdinding papan kayu lapuk, beralas tanah dan beratap seng. Melihat keadaan demikian, Ralon lantas memberikan sumbangan.

SDN 010 lalu mengalami renovasi. Kini temboknya bukan lagi kayu, melainkan susunan batu bata. Lebih kokoh ketimbang sebelumnya. Terhindar pula dari air hujan dan terik matahari.

Akan tetapi, jangan membayangkan seperti sekolah di kota pada umumnya. Kondisi sekolah marginal tetap saja mengkhawatirkan meski lebih baik dari sebelumnya.

Seperti rumah baru, tak banyak perkakas alat bantu belajar di sekolah ini. Dindingnya masih telanjang menampakkan susunan batu bata merah direkatkan semen.

Tak ada pintu dan jendela. Ruangan kelas terbuka selamanya. Hanya bolong begitu saja. Walhasil, banyak nyamuk dari hutan sekitar sekolah yang menggigit siswa selama belajar.

Boro-boro dipasang poster berisi jenis-jenis bilangan atau langkah mencuci tangan atau deretan sosok pahlawan. Gambar lambang negara dan foto presiden-wakil presiden pun tak ada. Lantai juga hanya beralaskan tanah.

Sekolah marginal merupakan salah satu gambaran tentang ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia. Masih banyak sekolah marginal lain di daerah berbeda.

Bertahun-tahun berada dalam keterbatasan. Uluran tangan pemerintah pusat dan daerah pun tak sampai memberikan perubahan signifikan. Anggota kepolisian, yang sebenarnya tak berkewajiban, justru menjadi orang yang datang memberikan bantuan.

"Ini [bangunan] baru pas 2017. Dari 2006 sampai 2017, itulah, kayak itulah bangunan itu. Atapnya seng, dindingnya papan," ucap Arosel, guru sekolah marginal.

"Tapi sekarang itu kan sudah roboh, tinggal fotonya, sudah habis bangunan itu. Enggak tahan lagi mungkin, sudah lama kan itu," tambahnya. (ds/sumber CNNIndonesia.com)