Nggak Ditindak, ODOL Tetap Marak

LAW Enforcement! Dua kata itu menjadi kunci bagi pemberantasan beroperasinya truk over dimension over load (ODOL). Tanpa adanya penindakan tegas maka truk ODOL akan tetap marak. Ada kesan truk ODOL dfibiarkan walaupun mengakibatkan lebih cepatnya ketusakan jalan dan menimbulkan kecelakaan fatal lalu lintas.
Demikian kesimpulan BeritaTrans.com dan Aksi dari diskusi secara terpisah dengan anggota Komisi V DPR Ahmad Syaikhu, pengamat kebijakan publik dan konsumen Agus Pambagio, Perkumpulan Perusahaan Multimoda Transport Indonesia (Indonesian Multimodal Transport Association/IMTA) Kyatmaja Lookman, serta akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno.
Menurut anggota legislatif Ahmad Syakhu, tanpa penindakan tegas oleh Polri, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Pemerintah Daerah (Pemda) maka truk ODOL akan tetap beroperasi. "Kelemahannya memang di-law enforcement. Truk ODOL terkesan dibiarkan," ujarnya, Senin (31/8/2020).
Karenanya, dia mendesak Polri, Kemenhub dan Pemda untuk berkoordinasi dan bersinergi untuk membuat agenda bersama menindak ODOL secara berkesinambungan. "Bahkan melibatkan Kementerian PUPR dan Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT)," tegasnya.
Sementara itu, Agus Pambagio mensinyalir dibiarkannya truk ODOL beroperasi karena menjadi lumbung uang untuk oknum tertentu. "Tidak peduli telah menyebabkan kerusakan jalan sehingga perbaikannya setiap tahun puluhan triliun rupiah dan juga menyebabkan kecelakaan fatal, truk ODOL dibiarkan beroperasi karena antara lain ada pungutan liar (pungli), yang bikin gemuk oknum tertentu dan preman," cetusnya.
Belakangan, dia menuturkan adalah aneh sikap pemerintah yang memperpanjang toleransi waktu truk ODOL beroperasi dengan alasan akan menganggu pasokan logistik dan memberi kesempatan operator truk memperbarui armada. "Jadi bagaimana mau ditindak kalau satu sisi menjadi mesin duit bagi oknum, lalu pada sisi lain pemerintah juga melonggarkan toleransi truk ODOL beroperasi. Padahal omong kosong truk ODOL dapat diberantas kalau nggak ada penegakan hukum," ujarnya.
Mantan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu juga mengungkapkan tidak hanya milik perusahaan swasta, termasuk pengusaha kelapa sawit dan batubara, truk ODOL juga dioperasikan oleh sejumlah perusahaan BUMN. "Ngeri kan kalau BUMN saja memberi contoh buruk. Belum lagi bila perusahaan sawit dan batubara itu milik pengusaha besar dan orang-orang rertentu, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan," tuturnya.
Terhadap keberadaan truk ODOL dari pabrikan, Agus menyoroti perizinan kendaraan itu untuk diimpor dan dipasarkan di dalam negeri. "Tetap diberi izin walau tahu spek teknis truk itu tidak sesuai dengan kemampuan jalan di Indonesia. Selain itu, ban keras juga diizinkan diojual dan dipakai di Indonesia," ujarnya.
Karena itu, dia menegaskan tridak perlu ada lagi riset atau diskusitentang memberantas truk ODOL sepanjang tidak ada penegakan hukum secara berkelanjutan di lapangan.
Tentang maraknya truk ODOL, Kyatmaja Lukman mengemukakan muncul karena terjadi persaingan sangat ketat di antara operator truk untuk mendapatkan atau mempertahankan market. "Itu yang menyebabkan pengusaha angkutan memuat melebihi kapasitas. Kebetulan truknya kuat. Ditambah lagi pengawasan dan penindakan tidak ketat," ungkap mantan pengurus DPP Aptrindo tersebut.
Dia memperkirakan 80 persen truk cenderung ODOL. Kalau saja penindakan tegas ditegakkan maka jumlah truk itu akan menurun drastis. Salah satu penindakannya adalah dengan mencontoh Jerman, truk yang melebihi dimensi harus dipotong begitu ditangkap. Bagi kendaraan, yang melebihi batas muatan maka langsung ditahan dan wajib kir ulang. "Di Indonesia, baru penindakan bagi truk melebihi muatan maka sebagian muatan diturunkan," ujarnya.
Kyatmaja menuturkan di Indonesia perlu terus-menerus operasi gabungan. Penindakan tegas di jembatan timbang dan jalan. "Kendaraan harus ditahan sepanjang belum selesai persidangan tilangnya. Selama ini, truk ODOL ditilang tetapi tetap masih bisa beroperasi. Dendanya juga relatif ringan. Paling hanya Rp200.000," ungkapnya.
Untuk menekan jumlah truk ODOL, bahkan truk beroperas di jalan, dia mengutarakan IMTA mendorong penggunaan kereta dan kapal roro. "Memang masih harus menggunakan truk, tetapi hanya dalam jarak pendek yakni dari dan ke pelabuhan atau stasiun kereta," jelasnya.
Pelanggaran dalam bentuk truk ODOL, Djoko Setijowarno mengemukakan sebaiknya tidak sekadar tilang, tetapi juga mengenakan hukum pidana. "Ada efek jera terhadap operator truk dan pemilik barang dengan pengenaan pasal pidana," tegasnya.
Djoko Setijowatno mengemukakan penindakan juga harus tegas terhadap pelanggaran oleh petugas kir dan petugas jembatan timbang. "Jadi dibereskan juga di hulunya. Tidak sekadar di hilir," ujarnya.
(Gus Awe).
Artikel Terkait :
Artikel Terbaru :
TERPOPULER
- Mulai 1 Juli 2025, CommuterLine Basoetta hanya 39 Menit ke Bandara Soekarno-Hatta, Tambah 70 Perjalanan Per Hari
- KAI Services Akan Tata Perparkiran di Stasiun Cikampek
- Insiden KRL dan Truk di Tangerang: KAI Imbau Masyarakat Lebih Tertib di Perlintasan Sebidang
- KAI Commuter dan DJKA Operasikan Bangunan Baru Stasiun Tanah Abang
- AstraPay Dorong Inklusi Keuangan dan Peran Generasi Muda dalam Pemulihan Ekonomi Digital
- Surabaya Unggul, KAI Logistik Perkuat Kinerja di Jawa Timur lewat Kemitraan dan Layanan Inovatif
- KAI Logistik Siapkan Strategi Hadapi Lonjakan Pengiriman Motor Selama Libur Panjang dan Tahun Ajaran Baru
- Skandal Upah dan PHK di Perum Percetakan Negara RI: Direksi PNRI Terancam Dilaporkan ke Polisi
- Catat Pertumbuhan 41% hingga Mei 2025, KAI Logistik Perluas Jangkauan Logistik Lintas Pulau Hingga ke Jayapura
- Aksi Bela Diri IPDA Hari Saktiawan Polsek Bantargebang Bikin Penonton Tegang
