press enter to search

Selasa, 16/04/2024 23:19 WIB

Biaya Rapid Test Antigen Dipatok Rp 250 Ribu, Melanggar Kena Sanksi!

Dahlia | Jum'at, 18/12/2020 20:02 WIB
Biaya Rapid Test Antigen Dipatok Rp 250 Ribu, Melanggar Kena Sanksi! Foto: ilustrasi

Jakarta (aksi.id)  - Pemerintah telah menetapkan harga tertinggi rapid test antigen sebesar Rp 250 ribu untuk Pulau Jawa dan Rp 275 ribu untuk luar Pulau Jawa.

Aturan ini berlaku untuk semua fasilitas kesehatan, yakni rumah sakit baik negeri dan swasta di Indonesia. Jika ada faskes yang masih `bandel` dengan mematoknya lebih tinggi, maka bakal ada sanksi yang berlaku.

"Tentu saja sanksi terukur, mulai dari pemberitahuan, kemudian pemanggilan sampai langkah-langkah yang lebih jauh terkait perizinan dan akan kita sesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya dalam konferensi pers bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKPP) di kantor BPKP, Jakarta, Jumat (18/12/2020).

Pernyataan tersebut untuk mengantisipasi adanya fasilitas kesehatan mematok harga lebih dari itu. Kemenkes dan BPKP menilai penetapan harga telah melihat banyak komponen, mulai dari biaya administrasi, komponen antigen, tenaga kesehatan dan lainnya, termasuk keuntungan wajar yang bisa diambil rumah sakit atau klinik.

"Sejak 18 Desember 2020 Pemerintah sudah mengeluarkan SE tentang batasan tarif tertinggi rapid test antigen, maka rumah sakit dan klinik swasta harus mengikuti kebijakan ini. Dan untuk itu, Dinas Kesehatan baik Provinsi maupun Kota dan Kabupaten harus melakukan pembinaan terkait pemberlakuan tarif tertinggi. Jadi jelas harus diturunkan dan mengikuti SE ini," kata Azhar Jaya.

Masyarakat juga perlu untuk mengawasi pelaksanaannya di lapangan, yakni mengikuti aturan baik harga tertinggi di Jawa maupun luar Jawa. Keduanya memang memiliki perbedaan nilai, karena mempertimbangkan faktor jarak dan jauhnya perjalanan.

"Luar Jawa mempertimbangkan kemungkinan adanya mata rantai lagi yang diperlukan, misalnya pertimbangan delivery tentu harga Papua dan Jakarta dan Banda Aceh beda," kata Direktur Pengawasan Bidang Pertahanan dan Keamanan BPKP Faisal.

(lia/sumber:cnbcindonesia.com)