press enter to search

Selasa, 01/07/2025 05:09 WIB

Wawancara Khusus Halima Aden, Supermodel Berhijab Pertama yang Tinggalkan Dunia Fashion: Karier Saya Tampak Sukses, Tapi Secara Mental Tidak Bahagia

Redaksi | Minggu, 24/01/2021 23:23 WIB
Wawancara Khusus Halima Aden, Supermodel Berhijab Pertama yang Tinggalkan Dunia Fashion: Karier Saya Tampak Sukses, Tapi Secara Mental Tidak Bahagia Halima Aden supermodel berhijab beragama Islam.

MINNESOTA (Aksi.id) - Dalam wawancara eksklusif dengan reporter BBC Global Religion, Sodaba Haidare, ia menceritakan secara lengkap mengenai mengapa ia menjadi model dan bagaimana ia sampai pada keputusan untuk berhenti.

Saat dijumpai di St Cloud, Minnesota, Amerika Serikat - tempat dia dibesarkan bersama orang-orang Somalia lainnya - Halima mengenakan busana biasa dan tanpa riasan.

Dengan riang, dia berbincang sembari mengelus anjing peliharaannya, Coco.

"Saya Halima dari Kakuma," katanya merujuk kamp pengungsian di Kenya, tempat dia dilahirkan.

Kadang tak bisa salat atau pakai hijab saat jalani profesi, model kenamaan Amerika, Halima Aden, memilih mundur

Sebagian khalayak menggambarkan perempuan itu sebagai supermodel berhijab yang luar biasa atau model berhijab pertama pada sampul majalah Vogue.

Namun ia meninggalkan itu semua dua bulan lalu, karena menurutnya, industri fashion bertentangan dengan kepercayaannya sebagai seorang Muslimah.

"Ini situasi ternyaman yang pernah saya rasakan dari semua wawancara yang pernah saya lakukan," katanya sambil tertawa.

"Karena saya tak perlu menghabiskan waktu 10 jam untuk bersiap-siap dalam busana yang tak dapat saya pertahankan."

Sebagai model berhijab, Halima sangat selektif mengenai busana yang ia kenakan. Pada awal kariernya, dia selalu membawa koper yang dipenuhi beragam hijab miliknya, gaun panjang, dan rok untuk setiap pemotretan.

Halima mengenakan hijab hitam sederhana miliknya untuk kampanye pertamanya bagi Fenty Beauty milik Rihanna.

Apapun busana yang ia kenakan, hijabnya tak pernah ketinggalan dalam setiap pemotretan, sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan.

Sedemikian pentingnya hijab, pada 2017 ketika menandatangani kontrak dengan IMG - salah satu agensi modeling terbesar di dunia - ia berhasil meminta penambahan klausul sehingga IMG tidak bisa memaksa Halima menanggalkan hijabnya.

Bagi Halima, hijab adalah dunianya.

"Banyak gadis yang bersedia mati untuk sebuah kontrak sebagai model," kata Halima, "tapi saya siap untuk meninggalkan [kontrak] bila [klausul] itu tak disetujui."

Saat itu, Halima Aden belum dikenal di dunia modeling - dia `bukan siapa-siapa`.

Namun seiring berjalannya waktu, kuasa Halima dalam menentukan busana-busana yang dia pakai makin berkurang. Bahkan, ia setuju untuk menutupi rambutnya dengan cara yang tak sesuai dengan perjanjian awal.

"Saya akhirnya menyimpang dan masuk ke area abu-abu yang membingungkan karena membiarkan tim mengatur gaya jilbab saya."

Pada tahun terakhir kariernya, hijabnya semakin mengecil, terkadang menonjolkan leher dan dadanya. Dan, alih-alih jilbab, terkadang dia menutup rambutnya dengan jins, atau pakaian dan kain lain.

Klausul lain dari kontrak Halima adalah jaminan ruang khusus yang memungkinkan ia untuk berpakaian dalam privasinya sendiri.

Namun dengan cepat Halima menyadari, model berhijab lainnya, yang mengikuti Halima ke industri fashion, tidak diperlakukan dengan respek. Ia melihat model-model itu diminta untuk berganti busana di kamar mandi.

"Situasi itu membuat saya geram dan saya berpikir, `Ya Tuhan, gadis-gadis ini mengikuti jejak saya, dan saya telah membuka pintu ke mulut singa.`"

Halima berharap penerusnya menjadi sederajat, dan hal ini memperkuat perasaannya untuk melindungi mereka.

"Banyak dari mereka masih sangat muda, ini bisa menjadi industri yang menyeramkan. Bahkan dalam pesta yang kami hadiri, saya selalu mendapati diri saya dalam peran sebagai kakak perempuan yang harus menggamit salah satu model berhijab karena ia dikelilingi oleh sekelompok pria yang mengikuti dan mengerumuninya.

"Saya merasa seperti, `Kelihatannya ini tidak benar, ia masih anak-anak.` Saya akan menariknya keluar dan bertanya ia bersama siapa. "

Sebagian dari rasa tanggung jawab ini berasal dari latar belakang Somalia yang dimiliki Halima. Sebagai anak dari kamp pengungsi Kakuma, di Kenya, Halima diajari ibunya untuk bekerja keras dan membantu sesama.

Didikan sang ibu itu berlanjut terus hingga mereka pindah ke Minnesota, AS, ketika Halima berusia tujuh tahun, dan menjadi bagian dari komunitas Somalia terbesar di AS.

Terjadi sebuah masalah ketika Halima menjadi murid perempuan berhijab pertama yang mendapat penghargaan sebagai murid terpopuler di SMA-nya. Halima mengerti ibunya, yang sangat berkonsentrasi pada nilai yang baik, akan tidak menyetujui hal tersebut.

"Saya sangat malu, karena ketika saya dinominasikan, teman-teman datang ke rumah dan saya bilang, `Jangan datang- ibu saya menyiapkan sepatu dan kalian tidak akan tahu apa yang kalian hadapi!`"

Kekhawatirannya terbukti. Ibu Halima menghancurkan mahkota yang diperolehnya dan mengatakan, "Kamu terlalu fokus pada teman dan kontes kecantikan."

Namun Halima tetap mengikuti ajang Miss Minnesota USA pada 2016. Ia merupakan kontestan pertama yang mengenakan hijab dan menjadi semi finalis,

Sang ibu merasa kecewa ketika Halima memilih untuk mengejar karier di duna model - karier yang dianggap ibunya bertentangan dengan status yang melekat pada Halima: berkulit hitam, Muslim, pengungsi.

Bahkan ketika Halima mulai menapaki catwalk utama dunia untuk menjadi model Yeezy dan Max Mara, atau menjadi juri Miss USA, ibunya masih mendorong Halima untuk "mendapatkan pekerjaan yang layak".

Sisi kemanusiaan dalam karier Halima-lah yang berhasil meyakinkan ibunya bahwa karier modeling yang dijalaninya sepadan.

Sebagai seorang pengungsi yang telah berjalan 12 hari dari Somalia ke Kenya untuk kehidupan yang lebih baik, Halima tahu pentingnya membantu mereka yang membutuhkan.

"Dia berkata, `Kamu tidak boleh menjadi model jika tidak memiliki sikap memberi bagi sesama`. Dalam pertemuan pertama saya dengan IMG, saya meminta mereka untuk membawa saya ke Unicef, "kata Halima.

"Ibu saya tak pernah memandang saya sebagai model atau gadis sampul. Dia memandang saya sebagai secercah harapan bagi para gadis muda dan selalu mengingatkan saya untuk menjadi teladan bagi mereka."

Halima ingin meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak telantar, sekaligus ingin menunjukkan pada anak-anak itu bahwa kalau ia saja bisa keluar dari kamp pengungsian, mereka juga memiliki harapan yang sama.

Namun Unicef tidak memenuhi harapannya.

Pada tahun 2018, tidak lama setelah menjadi duta Unicef, ia mengunjungi kamp Kakuma untuk menyampaikan pemikirannya dalam forum Ted Talk.

"Saya bertemu dengan anak-anak dan bertanya kepada mereka, `Apakah semuanya masih dilakukan seperti yang sudah-sudah, apakah kalian masih harus menari dan bernyanyi di depan pendatang baru?` Mereka berkata, `Ya, tapi kali ini kami tidak melakukannya untuk selebritas lain yang mereka bawa ke kamp, kali ini kami melakukannya untuk kamu.` "

Halima dilanda rasa bersalah dan kesal. Ia mengatakan ia masih ingat ketika dirinya dan anak-anak lain bernyanyi dan menari untuk para selebritas yang berkunjung

Bagi Halima, organisasi tersebut seperti lebih fokus pada citra organisasi ketimbang pendidikan anak-anak.

"Saya dapat mengeja `Unicef` bahkan sebelum saya dapat mengeja nama saya. Saya menuliskan nama saya dengan tanda X, kata Halima. "Minnesota yang memberikan buku pertama saya, pensil pertama saya, tas pertama saya. Bukan Unicef."

Halima memperkirakan semuanya telah berubah sejak ia pergi.

Pada November, dalam percakapan melalui video dengan anak-anak di Kakuma pada Hari Anak Internasional, Halima memutuskan ia tak dapat melanjutkannya. Rasanya sangat berat melihat anak-anak itu di tengah musim dingin, saat pandemi melanda dunia.

"Setelah bicara dengan anak-anak, saya membuat terobosan,"katanya.

"Saya memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan organisasi nirlaba internasional yang menggunakan `kisah keberanian dan harapan saya yang indah`."

Unicef Amerika Serikat menyatakan pada BBC," Kami berterima kasih atas kolaborasi dan dukungan dari Halima selama tiga setengah tahun. Kisah ketangguhannya dan harapannya yang luar biasa telah memandu pandangannya terhadap dunia yang menjunjung hak-hak setiap anak.

"Bekerja dengan Halima merupakan kesempatan luar biasa bagi Unicef dan kami mendoakan yang terbaik untuk masa depannya."

Keraguan Halima tentang karier modelnya juga semakin meningkat.

Ketika permintaan di industri fashion untuk dirinya meningkat, Halima menghabiskan lebih sedikit waktu dengan keluarganya dan berada jauh dari rumah saat perayaan besar Islam.

"Pada tahun pertama dalam karier saya, saya bisa pulang untuk Idul Fitri dan Ramadhan tetapi dalam tiga tahun terakhir, saya tengah bepergian. Saya kadang-kadang melaukan enam hingga tujuh penerbangan seminggu. Tak ada jeda," kata Halima.

Pada September 2019, ia tampil di sampul majalah King Kong, mengenakan perona mata berwarna merah dan hijau cerah serta perhiasan besar di wajahnya. Riasannya menyerupai topeng dan menutupi segalanya kecuali hidung dan mulutnya.

"Gaya dan riasannya buruk sekali. Saya tampak seperti versi diri saya yang menjadi fetish pria kulit putih," katanya.

Dan yang membuatnya ngeri, Halima menemukan foto seorang pria telanjang dalam edisi yang sama.

"Bagaimana mungkin majalah tersebut berpikir menghadirkan perempuan Muslim yang mengenakan hijab dan pria telanjang di halaman berikutnya merupakan hal yang dapat diterima?" Halima mempertanyakan. Kejadian itu bertentangan dengan semua yang ia yakini. (ds/sumber BBC News Indonesia)

Artikel Terkait :

-