press enter to search

Sabtu, 27/04/2024 07:32 WIB

Konflik Agraria: Petani 75 Tahun Divonis Bersalah Usai Tebang Pohon Jati yang Ditanam Sendiri, Mengapa Masalah Tanah Hanya Sasar Orang-orang Kecil?

Redaksi | Jum'at, 26/02/2021 07:44 WIB
Konflik Agraria: Petani 75 Tahun Divonis Bersalah Usai Tebang Pohon Jati yang Ditanam Sendiri, Mengapa Masalah Tanah Hanya Sasar Orang-orang Kecil? Natu dan Ario Permadi di rumah panggung mereka di Desa Ale Sewo, Soppeng, Sulsel, Rabu (24/02).

Aksi.id - Pemidanaan terhadap petani yang secara turun-temurun tinggal di kawasan hutan kembali terjadi, kali ini di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Sejak 2016 setidaknya ada 57 petani dan warga adat dijerat pasal-pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Akhir Januari lalu, tiga petani di Desa Ale Sewo, Soppeng, salah satunya berusia 75 tahun, divonis bersalah karena menebang pohon jati yang ditanam keluarga mereka.

Aparat hukum mengeklaim pohon-pohon itu sejak tahun 2016 masuk kawasan hutan lindung sehingga terlarang untuk ditebang.

Padahal, menurut kesaksian para petani, orang tua mereka menanam bibit pohon jati itu bertahun-tahun sebelum negara menjadikan tanah leluhur mereka sebagai hutan lindung.

Awal tahun 2020, Ario Permadi, petani berusia 32 tahun di Desa Ale Sewo, Soppeng, berencana membangun rumah untuk tempat tinggalnya bersama istri dan dua anaknya.

Sejak menikah, Ario masih menumpang di rumah ayahnya yang juga seorang petani, Natu bin Takka (75 tahun).

Seperti kakak, ayah-ibu dan leluhurnya di kampung itu, Ario hendak menggunakan kayu jati yang ditanam keluarganya sebagai bahan rumah sederhananya.

Bersama ayah dan pamannya, Sabang bin Beddu (45), Ario kemudian menebang 55 pohon jati di kebun keluarganya.

Februari 2020, batang-batang jati itu sudah mereka olah menjadi ratusan balok untuk menjadi tiang dan penyangga atap.

Namun sebelum kayu-kayu itu belum berdiri tegak menjadi rumah, Ario, Natu, dan Sabang ditangkap polisi.

Lingkungan

Atas laporan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Walanae -- sebuah unit pengelola teknis di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan -- polisi menjerat satu keluarga itu dengan tuduhan menebang pohon di hutan lindung Laposo Niniconang tanpa izin.

"Kenapa baru saat itu disampaikan bahwa kebun itu masuk hutan lindung. Dari dulu itu bukan hutan lindung," ujar Ario, Selasa (23/02).

"Saya mau bikin rumah, tiang-tiangnya sudah jadi, polisi kehutanan baru bilang seperti itu. Bagaimana bisa seperti itu?

"Mereka cuma pakai GPS, cuma berdasarkan nomor-nomor saja. Ke manapun mereka pergi, kalau tanah yang mereka tindis itu masuk GPS, itu kawasan lindung," kata Ario.

Proses hukum terhadap ketiga petani itu berlangsung hampir setahun. Tanggal 19 Januari lalu, majelis hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng menjatuhi hukuman tiga bulan penjara kepada mereka.

Walau dinyatakan melanggar pasal 82 ayat (2) UU P3H, Ario, Natu, dan Sabang tidak diwajibkan mendekam di penjara.

Namun balok-balok kayu dari kebun leluhur mereka disita.

Lingkungan

`Tiba-tiba dijadikan hutan lindung`

Ario, yang hanya pernah mengecap pendidikan sekolah dasar, tak habis pikir saat kebun leluhurnya diklaim masuk kawasan hutan lindung. Saat kakak perempuannya yang bernama Arida membangun rumah tahun 2002 silam, keluarganya juga menebang pohon jati di kebun yang sama.

"Dari dulu kami menebang di situ tidak pernah bermasalah. Sekarang pohon kami juga masih ada yang tersisa di situ karena kemarin kami pilih-pilih sebelum menebang," ujarnya.

Kasus hukum ini kini membuat warga Desa Ale Sewo waswas.

Apalagi, kata sebagian dari mereka, pemerintah tidak pernah mensosialisasikan batas hutan lindung.

Arida, misalnya, khawatir bukan cuma adik dan ayahnya yang akan dijerat hukum, tapi juga suami dan anak-anaknya kelak.

"Apakah pohon dan tanaman yang sudah kami tanam sendiri masih bisa kami ambil?" kata Arida.

Hal itu juga diutarakan Sidu, warga Ale Sewo lainnya.

"Saya tidak pernah melihat orang dinas kehutanan di daerah ini, tapi sekarang mereka klaim semuanya sebagai hutan lindung. Saya tidak tahu karena pemerintah tidak pernah kasih tahu apa pun. Tidak pernah. Sekarang tiba-tiba ada masalah," ujar Sidu.

Lingkungan

Juli 2016, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menerbitkan surat keputusan tentang penunjukan kawasan hutan di Sulawesi Selatan seluas 2,7 juta hektare. Penunjukan itu lalu diikuti surat penetapan yang juga diteken Siti tahun 2019.

Merujuk surat keputusan tersebut, hutan lindung di wilayah Soppeng terbentang seluas 45,9 ribu hektare. Hutan lindung di Soppeng dan Kabupaten Wajo dikelola KPH Walanae.

Perkampungan dan ladang warga ada yang dimasukkan ke kawasan hutan itu, tanpa proses negoisasi dan sosialisasi, kata Roni Septian Maulana, kepala divisi advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

"Proses penunjukan dan penetapan kawasan hutan itu tidak dilakukan secara partisipatif. Masyarakat tidak pernah dilibatkan, di mana sih sebenarnya batas-batas hutan.

"Jadi proses itu berpotensi memunculkan penggusuran, perampasan tanah, dan kriminalisasi," kata Roni.

Lingkungan

Bantahan pemerintah

Namun orang nomor satu di unit pengelola kawasan hutan di Kabupaten Soppeng dan Wajo, Muhammad Junan, menyanggah semua keterangan tadi.

"Dari dulu kami sudah lakukan sosialisasi. Jadi di lapangan masyarakat sebenarnya sudah tahu batas-batasnya.

"Kebun itu kan ada di hutan lindung, jadi tidak boleh dilakukan penebangan. Kalaupun untuk digunakan sendiri, harus ada izin dari pejabat berwenang," kata Junan.

Pemerintah, kata Junan, juga sudah menyediakan berbagai skema yang tetap memungkinkan masyarakat memanfaatkan hasil di kawasan hutan.

"Ada sistem perhutanan sosial, jadi mereka bisa mengelola kebun di kawasan hutan dengan skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat.

"Kalau mereka mau melakukan aktivitas dalam kawasan, ajukan dulu skema itu. Apalagi kalau sampai mau melakukan penebangan," ujar Junan.

Selain tiga skema yang disebut Junan, perhutanan sosial juga mencakup hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Rezim pemerintahan Jokowi mengklaim sistem perhutanan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan petani lokal.

Jokowi menargetkan 12,7 hektare lahan perhutanan sosial dapat diserahkan ke masyarakat hingga tahun 2024.

Namun sejak digulirkan tahun 2015, capaian program ini baru mencapai 4,2 juta hektare per September 2020.

Lingkungan

Patutkah para petani ini divonis bersalah?

Sebelum kasus Ario, Natu, dan Sabang, pada tahun 2017 tiga petani di Soppeng juga terjerat kasus yang sama. Mereka adalah Sahidin, Jamadi, dan Sukardi.

Ketiganya ditahan 150 hari sebelum akhirnya dibebaskan tahun 2018. Majelis hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng waktu itu menganggap tiga petani itu tidak bersalah walau menebang pohon di kawasan hutan lindung.

Dalam putusannya, ketika itu majelis hakim menyatakan jaksa tidak semestinya menjerat petani dengan UU P3H. Alasannya, aturan itu ditujukan untuk perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir.

KPA bersama tiga guru besar ilmu hukum, yaitu Profesor Maria Sumardjono, Profesor Achmad Sodiki, dan Profesor Hariadi Kartodihardjo, mengingatkan hakim agar merujuk putusan bebas itu saat mengadili Ario, Natu, dan Sabang.

Mereka mengajukan pendapat hukum sebagai pihak ketiga secara sah lewat prosedur amicus curiae.

"Sebenarnya dalam pasal 1 dan 11 UU P3H mengecualikan, bahwa pemidanaan tidak berlaku untuk masyarakat adat atau petani yang telah bermukim di kawasan hutan dan tidak menebang kayu untuk bisnis seperti korporasi yang menebang ribuan hektare lahan," kata Roni dari KPA.

"Jika hakim cermat, hakim pasti akan membebaskan mereka," ucapnya.

Adapun menurut Edy Wahid, pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Makassar, polisi dan jaksa "salah sasaran".

Yang semestinya dijerat UU P3H, kata dia, adalah orang dari luar kampung yang sengaja membuka lahan atau menebang pohon di kawasan hutan demi keuntungan pribadi.

"Kami akui sejak beberapa tahun terakhir banyak lahan baru yang dibuka di kawasan hutan. Tujuannya untuk komersial. Mereka masuk dari luar kawasan hutan," kata Edy.

"Harusnya mereka yang betul-betul melanggar ini yang ditindak, bukan petani kecil seperti Pak Natu dan keluarganya yang turun-temurun menggantungkan hidup pada hasil hutan. Kalau dinyatakan terlarang untuk orang-orang seperti Natu, hilang hak mereka atas kehidupan yang layak dan hilang juga masa depan mereka," ujar Edy.

Namun Juru Bicara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Idil, menyebut vonis bersalah untuk Ario, Natu, dan Sabang penting untuk memicu efek jera perusak hutan.

Penebangan di hutan lindung, kata Idil, selama ini terbukti menjadi pemicu masifnya bencana seperti banjir maupun longsor.

Idil mengeklaim selama ini tidak pernah ada upaya kriminalisasi terhadap para petani di Soppeng.

Para jaksa pun, kata dia, telah menjalankan anjuran Jaksa Agung ST Burhanudin untuk "menegakkan hukum dengan hati nurani".

"Penebangan di hutan lindung akan berakibat terhadap lingkungan. Penetapan hutan lindung kan demi pelestarian lingkungan, agar tidak ada banjir yang berdampak pada masyarakat," ujar Idil.

Lingkungan

Bagaimana supaya tidak terjadi lagi pemidanaan seperti ini?

Konsorsium Pembaruan Agraria mendorong Kementerian Lingkungan dan Kehutanan mengeluarkan 502 desa dari kawasan hutan milik negara maupun hutan yang dikuasai perusahaan lewat beragam jenis izin.

"Tapi sejak penyerahan dokumen itu sampai sekarang, belum satu pun desa yang dilepaskan dari klaim kawasan hutan," kata Roni Maulana.

Bukan hanya di Soppeng, sejumlah warga adat dan petani di daerah lain juga dihukum atas tuduhan penebangan di kawasan hutan tanpa izin.

Lingkungan

Bulan Mei 2020 misalnya, Bongku, seorang warga Adat Sakai di Bengkalis, Riau, dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.

Bongku dinyatakan bersalah saat hendak menanam ubi di tanah ulayatnya. Lahan itu masuk kawasan hutan tanaman industri yang kini dikelola PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas.

Bagaimanapun, para petani di Soppeng masih terus memperjuangkan apa yang mereka anggap kebeneran.

Ario, Natu, dan Sabang mengajukan banding atas putusan bersalah yang mereka terima.

Walau tidak diperintahkan untuk mendekam ke penjara, putusan bersalah itu mereka anggap akan menjadi pintu gerbang pemidanaan terhadap petani di Soppeng.

"Kami tetap perjuangkan agar dia dinyatakan tidak bersalah. Ini bukan persoalan hukum semata, tapi masalah sosial, ekonomi, dan budaya," kata Edy dari LBH Makassar.

Sementara itu tiga petani Soppeng lain yang divonis bebas tahun 2018 kini menggugat ganti rugi atas proses penangkapan dan penahanan yang mereka jalani.

Mereka mengatakan proses hukum yang mereka alami telah mengacaukan psikologis dan kondisi keuangan keluarga.  (ny/Sumber: BBCIndonesia)