press enter to search

Kamis, 18/04/2024 17:20 WIB

KPK dan Kontroversi TWK: Dipandang Sebagai `Pelanggaran HAM Berat` dan Disebut Mirip Litsus Era Orba dengan Pelabelan Anti-Pancasila

Redaksi | Rabu, 09/06/2021 09:50 WIB
KPK dan Kontroversi TWK: Dipandang Sebagai `Pelanggaran HAM Berat` dan Disebut Mirip Litsus Era Orba dengan Pelabelan Anti-Pancasila Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (tengah) menerima berkas.


JAKARTA (Aksi.id) - Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (tengah) menunjukkan berkas pengaduan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada awak media usai audiensi di Kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021).

Tes Wawasan Kebangsaan di Komisi Pemberantasan Korupsi dengan memberhentikan puluhan pegawai yang tidak lulus tes disebut Amnesty Internasional dan pengamat sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.

"Pemberhentian 51 pegawai KPK ini bisa dilihat dari "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 94 UU 39/1999 karena jelas merupakan praktik diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)," ujar pegiat HAM yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

TWK yang kontroversial itu juga dinilai Usman dan pengamat sejarah dari Universitas Nasional, Andi Achdian mirip dengan cara Orde Baru melalui program penelitian khusus (litsus) untuk menyingkirkan orang-orang yang "berbeda pandangan dan nilai" dari posisi-posisi publik.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, setelah menerima pengaduan dari puluhan pegawai KPK atas TWK yang mereka permasalahkan itu, memanggil pimpinan KPK untuk hadir hari Selasa (8/6).

Namun, melalui surat kepada Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, pimpinan KPK memilih tidak hadir.

"Mereka mengatakan menghormati tugas dan fungsi Komnas HAM. Tetapi mereka ingin tahu kira-kira dugaan pelanggaran HAM apa yang terkait mereka," kata Damanik ketika dihubungi sembari mengkonfirmasi absennya pimpinan KPK pada pemanggilan perdana Komnas HAM itu.

"Tentunya akan kami panggil ulang. Tetapi sekarang tim kami sedang mempelajari surat dari KPK itu," lanjutnya.

Ia juga mengatakan harapannya pimpinan KPK bisa datang untuk memberi penjelasan sehingga permasalahan terkait pengaduan para pegawai KPK soal TWK bisa secepatnya diatasi. Namun Damanik tidak menjelaskan jadwal baru pemanggilan atas pimpinan KPK.

Alasan serupa ketidakhadiran pimpinannya ke Komnas HAM pada Selasa (8/6) juga diutarakan juru bicara KPK, Ali Fikri.

 

Menurut dia, pimpinan dan sekjen KPK telah menerima surat dari komnas HAM tertanggal 2 Juni 2021 terkait aduan Test Wawasan Kebangsaan pegawai KPK.

"Tentu pimpinan KPK sangat menghargai dan menghormati apa yang menjadi tugas pokok fungsi Komnas HAM sebagaimana tersebut di dalam ketentuan yang berlaku saat ini.

Sebagai tindak lanjut surat dimaksud, Senin, 7 Juni 2021 Pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK," ungkap Ali lewat jawaban tertulis.

Menurutnya, proses peralihan status pegawai KPK merupakan perintah Undang-undang dan KPK telah melaksanakan UU tersebut.

"Pelaksanaan TWK dilakukan oleh BKN [Badan Kepegawaian Negara] bekerjasama dengan lembaga terkait lainnya melalui proses yang telah sesuai mekanisme sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Ketua Wadah Pegawai KPK yang turut mengadu ke Komnas HAM, Yudi Purnomo, menyayangkan absennya pimpinan KPK pada pemanggilan perdana tersebut.

Bagi dia, seharusnya pimpinan KPK memberi contoh teladan mengingat yang memanggil mereka ada sesama lembaga Negara sembari berharap dugaan pelanggaran HAM ini bisa segera diselesaikan.

"Saya pikir harusnya berani untuk datang ya. Saya pikir Komnas HAM mungkin akan mengirim pemanggilan ulang kepada pimpinan KPK. Tetapi yang jelas KPK juga sering memberi klarifikasi juga kepada orang-orang yang diduga tidak pernah korupsi. Kalau mereka tidak datang kan seperti apa.

"Seharusnya pimpinan KPK menjadi contoh teladan lah, karena yang memanggil ini kan lembaga negara juga, yaitu Komnas HAM, sama seperti KPK," ujar Yudi kepada BBC News Indonesia.

"Jadi ya hormati lah untuk datang. Saya pikir tidak ada alasan untuk takut lah. Seharusnya sama koruptor saja berani, apalagi hanya undangan dari Komnas HAM," lanjutnya.

Hak asasi pegawai KPK dilanggar

Yudi, yang bergabung menjadi penyidik KPK sejak 2007, termasuk yang tidak lulus TWK. Itu diketahui saat menerima Surat Keputusan (SK) yang menyatakan dia tidak memenuhi syarat jadi Aparatur Sipil Negara.

Maka Yudi harus menyerahkan tugas dan tanggungjawabnya selama ini kepada atasan dan perkara penyidikan yang tengah ditangani pun sudah tidak bisa lagi dikerjakan.

Namun, hasil tes itu belum pernah dia terima, begitu juga dengan sesama rekannya yang juga tidak lulus.

Salah satu faktor inilah yang jadi permasalahan.

Presiden Joko Widodo sudah menyatakan jangan sampai TWK - yang merupakan bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi ASN - merugikan hak mereka.

Namun pimpinan KPK bersama BKN tetap memutuskan, dari 75 yang tidak lulus, 51 dipecat mulai November dan 24 lainnya harus dibina lebih lanjut sebelum menjadi ASN.

Belum ada kejelasan bagaimana masa depan 51 pegawai itu setelah tidak lagi bekerja di KPK.

Kontroversi yang ditimbulkan oleh TWK itu lah yang membuat Yudi bersama para rekannya mengadu ke sejumlah lembaga negara, seperti Ombudsman dan Komnas HAM. Ada hak asasi mereka yang dilanggar. (ds/sumber BBC News Indonesia)

Keyword TWK KPK