press enter to search

Minggu, 13/07/2025 13:49 WIB

Virus Vorona: Guru Honorer Jual Barang, Orang Tua Siswa Tunggak Iuran Sekolah: `Mending untuk Makan`

Redaksi | Selasa, 05/05/2020 06:12 WIB
Virus Vorona: Guru Honorer Jual Barang, Orang Tua Siswa Tunggak Iuran Sekolah: `Mending untuk Makan` Foto Ilustrasi REUTERS

Aksi.id - Sebelum pandemi corona, kehidupan ekonomi Andi Priyanto lumayan berkecukupan. Selain dari pekerjaannya sebagai guru honorer, kebutuhan hidup Andi dan keluarga ditopang dari penghasilannya sebagai pedagang makanan dengan omset penjualan Rp 300 ribu hingga Rp500 ribu per hari.

Namun, pandemi Covid-19 datang dan menghantam keuangan Andi. Sekolah diliburkan dan warga dianjurkan diam di rumah guna menghambat penularan virus corona. Kondisi itu berpengaruh besar pada omset penjualannya.

"(Jualan saya) benar-benar nggak laku. Biasanya omset sehari Rp300 ribu sampai Rp500 ribu. Sekarang buat dapatin Rp50 ribu aja susah banget," ungkap Andi kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Andi, yang menjadi guru honorer di SD Negeri 04 Batujajar Kabupaten Bandung Barat, terpaksa menjual barang-barang di rumahnya untuk makan sehari-hari.

"Saya menjual barang-barang yang ada di rumah. Saya menjual TV tabung, handphone punya istri. Saya juga berutang ke teman," kata bapak satu anak ini.

Andi tidak bisa mengandalkan honornya sebagai guru untuk menghidupi keluarga. Karena selain hanya Rp1 juta per bulan, pembayarannya pun sering terlambat tergantung pencairan dana BOS (bantuan operasional sekolah).

Tersendatnya pendapatan juga dirasakan Roswita, seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta di Manokwari, Provinsi Papua Barat.

"Kami menerima gaji, tapi unjangan-tunjangan lain dihentikan dulu. Pembayaran gaji pun lambat, tidak tepat pada waktunya. Biasanya kita terima tanggal 3 atau 4 awal bulan. Namun bulan Maret dan April, kita menerimanya pada tanggal belasan.

"Kalau pihak yayasan kewalahan dan tidak punya dana lagi, otomatis kami diberhentikan," papar Roswita kepada Safwan Ashari, wartawan di Manokwari yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyikapi kondisi para guru honorer ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri nomor 19 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 18 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler.

Permendikbud itu menghilangkan batasan maksimal 50% untuk pembayaran guru honorer. Syarat guru honorer juga dibuat lentur dengan tidak lagi dibatasi hanya guru yang memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengatakan melalui konferensi video: "Karena ada berbagai macam kondisi yang sudah berubah dengan Covid-19. Dan juga ada berbagai macam kondisi ekonomi yang sudah lebih mendesak bagi banyak sekali teman-teman kita, seperti guru atau guru honorer, maka kita melakukan revisi Permen kita," ujarnya.

sekolahHak atas fotoREUTERS
Image caption(Foto ilustrasi) Permendikbud terbaru menghilangkan batasan maksimal 50 % untuk pembayaran guru honorer. Syarat guru honorer juga dibuat lentur dengan tidak lagi dibatasi hanya guru yang memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan).

Menyeimbangkan penggunaan dana BOS

Meski penggunaan dana BOS berdasarkan musyawarah antara sekolah, dewan guru, dan komite sekolah, pengelolaannya berada di tangan kepala sekolah sebagai penanggung jawab dana BOS di setiap sekolah.

Yani Mulyani, selaku kepala sekolah SD Negeri 04 Batujajar tempat Andi mengajar, mengaku tidak menutup mata atas kondisi yang dialami Andi.

Namun, ia menyatakan kesulitan membayar honor yang lebih besar dari biasanya di saat pandemi ini, meski ada kelenturan kebijakan dalam hal pembayaran upah bagi guru non-ASN.

Pasalnya, pencairan dana BOS yang diterima sekolahnya tidak sesuai dengan jumlah siswa karena pemerintah masih mengacu pada Dapodik siswa per 31 September 2019.

"Di SD kami kekurangan (dana BOS). (Jumlah) siswanya tidak sesuai dengan Dapodik (Data Pokok Pendidikan). Kalau di Dapodik (jumlah siswanya) 165 siswa, kalau yang dibayarkan hanya untuk 137 siswa," ungkap Yani.

Jatah dana BOS memang berdasarkan jumlah siswa per sekolahnya. Mengacu ke Permendikbud Nomer 8 tahun 2020, dana BOS untuk tingkat SD sebesar Rp900 ribu per siswa.

Yani juga mengaku dilematis dalam mengelola dana BOS di masa pandemi corona ini. Di satu sisi, dia ingin membayar lebih besar honor bagi empat orang guru honorer di sekolahnya, tapi di sisi lain, beberapa kegiatan dan program sekolah harus tetap dijalankan.

Apalagi, ada program-program tambahan di masa pandemi ini, seperti disinfeksi gedung sekolah, pemberian masker bagi siswa, kuota internet bagi siswa dan guru untuk mendukung pembelajaran daring, dan uang transportasi bagi guru yang mendatangi siswa jika kesulitan belajar daring. Sementara besaran dana BOS tidak mengalami perubahan dan tetap disesuaikan dengan jumlah siswa.

"Dua triwulan ini, kekurangannya delapan hingga Rp10 juta dari sana (kementerian). Yah sulit (mau ngasih honor lebih), programnya banyak. (Tapi), dulu (honormya) kan hanya 15 persen, sekarang justru hampir 30 persen. Boleh (30 persen), tapi jangan melebihi 50 persen untuk honor itu," kata Yani.

virus corona, sekolah, kemendikbudHak atas fotoANADOLU AGENCY
Image caption(Foto ilustrasi) Akibat wabah virus corona, ada sejumlah orang tua siswa yang perekonomiannya terdampak sehingga terpaksa menunggak iuran sekolah.

Menunggak iuran sekolah, memprioritaskan makan

Pada masa pandemi corona, kesulitan tidak hanya dialami guru honorer. Orang tua siswa pun ada yang perekonomiannya terdampak wabah virus corona sehingga terpaksa menunggak iuran sekolah.

Hal itu dilakukan Ranti, ibu dua anak yang menjadi pesuruh di sebuah rumah indekos dengan gaji Rp750 ribu per bulan.

Dia menunggak iuran sekolah anaknya setelah selama dua bulan warung angkringannya tutup karena pembatasan sosial. Suaminya yang merupakan kuli bangunan menganggur karena sepi permintaan renovasi rumah.

"Waktu kita jualan, ada tambahan pemasukan. Kalau sekarang cuma mengandalkan gaji nggak seberapa, sebagai tukang bersih-bersih. Anak saya sekolah di SMA swasta. Hari gini daripada buat bayar SPP, mending buat makan dulu," ujar perempuan berusia 43 tahun itu kepada kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee.

Menurutnya, dia bukan satu-satunya orang tua siswa yang telat membayar iuran sekolah sebesar Rp353 ribu per bulan.

"Satu kelas ada 36 anak. Yang bayar baru 17 anak. Setiap hari wali kelas selalu minta tolong SPP segera dibayarkan. Kondisi kayak gini. Ada atau nggakada harus diada-adain. Sebetulnya agak pusing juga," katanya.

sekolahHak atas fotoANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA
Image caption(Foto ilustrasi) Wabah virus corona berdampak pada gaji sejumlah guru sekolah swasta.

Keberadaan murid-murid yang orang tuanya belum membayar iuran sekolah diamini Nur Aziz, Kepala Sekolah SMP Tri Mulya, Semarang.

Dia mengatakan, banyak orang tua siswa tidak sanggup membayar iuran sekolah sebesar Rp150 ribu per bulan.

"Virus corona ini jelas sekali berdampak pada sekolah kecil. Yang di kami itu siswanya itu terus terang kondisi sosial ekonominya itu menengah ke bawah. Bulan April ini di catatan saya hanya tiga siswa yang membayar SPP," ungkapnya.

Kondisi tersebut, menurutnya, sangat berdampak kepada gaji guru.

"Padahal guru itu tumpuannya utamanya ya SPP untuk sekolah swasta," cetusnya.

Untuk meringankan beban sekolah, Nur Aziz mengaku amat berharap pencairan dana BOS.

"Untuk bulan Mei ini kita belum tahu bagaimana untuk mempersiapkan, mensikapi terutama untuk gaji. Saya berharap Mei turun kembali (dana BOS) sehingga dana ini bisa dimaksimalkan untuk menolong operasional terutama honor guru.

"Saya sangat berharap ada kucuran (dana) segar untuk meringankan sehingga untuk satu bulan-dua bulan kuat, bisa nutup. Soalnya kita sudah istilahnya nggak punya apa-apa. Jadi ketika SPP nggak masuk. Ya sudah, nggak bisa apa-apa," papar Nur Aziz.

`Bernapas sesaat`

Hal senada diutarakan Yudhi Hendrayadi, Ketua Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Kota Bandung.

Permendikbud yang mengatur penggunaan dana BOS pada masa pandemi Covid-19, menurutnya, membuat para kepala sekolah swasta bernapas sesaat dalam mengatasi masalah honorarium.

Akan tetapi, dia menilai kebijakan itu dianggap tidak akan berpengaruh banyak bagi sekolah swasta dengan jumlah murid yang minim. Seperti diketahui, besaran dana BOS tergantung dari jumlah murid di setiap sekolah.

"Sekolah kecil sepertinya akan sangat bermasalah mengingat secara kuantiti, jumlah siswanya sedikit yang berimplikasi pada penerimaan dana BOS, sehingga paling bisa hanya untuk membayar gaji guru satu bulan saja," ujar Yudhi.

Menurut Yudhi, perlu formula yang tepat dan populis untuk bisa menanggulangi permasalahan honorarium guru, khususnya sekolah-sekolah yang kecil. Dia berharap ada bantuan dari sektor lain dan khusus bagi guru honorer.

sekolahHak atas fotoANTARA/SAIFUL BAHRI
Image captionPeraturan Mendikbud yang mengatur penggunaan dana BOS dianggap tidak akan berpengaruh banyak bagi sekolah swasta dengan jumlah murid yang minim.

Pendapat berbeda dikatakan Apar Rustam Ependi, Ketua Serikat Guru Indonesia (SEGI) Kabupaten Garut. Secara umum, kata dia, skema perhitungan perolehan dana BOS untuk satuan pendidikan mestinya ditinjau ulang. Hal itu mengacu pada kondisi setiap sekolah yang beragam.

Apar mencontohkan sekolah dengan kendala geografis sehingga memiliki jumlah siswa yang sedikit dan berimbas pada kecilnya perolehan dana BOS, sementara pengeluarannya besar.

Kondisinya akan sangat berbeda dengan sekolah perkotaan dengan jumlah siswa banyak yang otomatis perolehan dana BOS relatif besar, tapi jumlah honorernya sedikit.

Permendikbud nomor 19 tahun 2020 ini, menurut Apar, relatif cocok untuk sekolah di perkotaan.

"Tapi untuk di daerah tetap saja tidak jadi solusi karena perolehan dana BOS-nya relatif kecil," kata Apar.

Salah satu contoh kasus, lanjut Apar, ada satuan pendidikan menengah dengan jumlah siswa sekitar 60 orang. Selama satu tahun mendapat dana BOS Rp1,1 juta per siswa sehingga jumlahnya Rp66 juta dalam satu tahun.

"Kalau 50 persennya, berarti Rp 33 juta. Jika dibagi 12 bulan untuk bayar semua guru honorer hanya kisaran Rp 2,8 juta per bulan. Kalau gurunya ada 10 orang, berarti hanya dapat Rp 280 ribu per orang per bulan. Jauh dari UMK, apalagi UMP," kata Apar. (ny/Sumber:BBC Indonesia)