press enter to search

Kamis, 02/05/2024 09:21 WIB

Tarif Pesawat Mahal Hambat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2019

Redaksi | Jum'at, 12/07/2019 13:31 WIB
Tarif Pesawat Mahal Hambat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2019
JAKARTA (Aksi.id) – Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengakui tarif tiket pesawat terbang yang mahal turut menghambat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I lalu. Jika tarif tiket tak melonjak, pertumbuhan ekonomi seharusnya bisa lebih dari 5,07 persen.

 

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 mencapai 5,07 persen, hanya naik tipis dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,06 persen.

Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan sejauh ini masyarakat hanya paham bahwa tiket pesawat berpengaruh ke tingkat kenaikan harga barang dan jasa (inflasi). Namun, sektor riil sebenarnya juga terpukul dengan kondisi tersebut.

Ia mencontohkan, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA) sempat mengeluhkan turunnya perjalanan ke destinasi pariwisata domestik. Padahal, pariwisata mempunyai efek penggada (multiplier effect) yang cukup kuat ke perekonomian, di antaranya melalui sektor usaha oleh-oleh.

“Kami tidak mau menyebutkan angka pertumbuhan ekonomi seharusnya berapa jika tarif pesawat tidak naik, tapi memang menurut perhitungan kami, pertumbuhan ekonomi seharusnya bisa lebih dari 5,07 persen,” jelas Susiwijono, Rabu (10/7).

Tak hanya soal pariwisata, tiket pesawat yang mahal juga menyulitkan proses birokrasi. Para kepala daerah yang bertugas ke Jakarta, menurut dia, kini terus mengeluhkan tarif pesawat yang mahal.

“Makanya kenapa pemerintah sangat concern sekali dengan tarif pesawat ini. Karena bukan hanya aspek ekonomi makro, tapi beberapa pemda juga sudah mengeluh ke kami,” tutur dia.

Maka dari itu, ia berharap kebijakan tarif diskon 50 persen di jam-jam tertentu pada Selasa, Kamis, dan Sabtu ini bisa kembali menggiatkan sektor riil. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bisa menguat kembali di paruh kedua tahun ini.

Ia mengakui proses pembuatan kebijakan ini memakan waktu yang cukup panjang lantaran kalkulasi yang terbilang rumit. Namun, pemerintah akhirnya bisa mencari celah dari jam penerbangan yang memiliki frekuensi penumpang lebih sedikit dari biasanya (low hours).

“Dan hasilnya kami sudah sepakati bahwa ada 62 rute Citilink yang bisa memperoleh tarif diskon dan 146 rute Lion Air yang mendapatkan kebijakan serupa,” lanjut dia.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menduga kenaikan tiket pesawat jadi biang keladi pertumbuhan ekonomi kuartal I hanya 5,07 persen. Pengaruh tersebut tercermin dari pertumbuhan konsumsi masyarakat yang hanya tumbuh 5,01 persen.

Menurut dia, pertumbuhan konsumsi masyarakat untuk transportasi dan komunikasi hanya 4,91 persen di tahun ini atau melambat dibanding tahun sebelumnya 4,96 persen. Kemudian, konsumsi restoran dan hotel juga melambat dari 5,64 persen di tahun lalu menjadi 5,42 persen.

Ia bilang, hal tersebut tak lepas dari kenaikan harga tiket pesawat yang menjadi momok sejak awal tahun ini. Kenaikan tarif pesawat, lanjut dia, juga mempengaruhi jumlah pengguna pesawat domestik pada kuartal I.

Adapun, BPS mencatat total penumpang pesawat domestik Januari hingga Maret tahun ini di angka 18,32 juta orang, atau turun 17,66 persen dari tahun sebelumnya 22,25 juta orang.

“Dan kami juga mencatat tingkat hunian kamar juga turun, sehingga tiket pesawat yang mahal berkontribusi ke penurunan konsumsi tersebut,” kata Suhariyanto.


BI: Landai di kuartal II

Mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019, Bank Indonesia (BI) meramalkan akan melandai dibandingkan dengan kuartal I 2019. Proyeksi ini mengacu pada proyeksi kinerja ekspor dan impor yang menurun.

Dengan kondisi tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019 kemungkinan hanya berkisar di area 5,07 persen dan 5,1 persen. Jika bertengger di angka 5,07 persen, maka ekonomi dalam negeri sama seperti kuartal I 2018.

Perry mengatakan potensi penurunan kinerja ekspor dan impor terjadi sebagai dampak dari situasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Ia menyebut pelemahan kinerja ekspor terutama terasa untuk komoditas dan manufaktur.

“Kalau ekspor turun itu memang impor menurun. Itu karakteristik atau pola pertumbuhan di kuartal II 2019,” ucap Perry di Jakarta, Senin (8/7/2019).

Menurutnya, penurunan ekspor itu bisa terlihat dari penjualan produk ke AS. Selebihnya itu, Perry melihat ekspor masih cukup baik.

Begitu juga dari sisi produknya, BI menyebut tak semua ekspor komoditas melemah pada kuartal II 2019. Dua komoditas yang penjualannya masih positif, yakni batu bara dan kelapa sawit.

“Sejumlah kinerja ekspor juga ada yang cukup baik,” imbuhnya.

Di sisi lain, Perry mengatakan tingkat konsumsi rumah tangga sepanjang kuartal II 2019 meningkat karena ada pemilihan umum (pemilu), Ramadan serta Lebaran. Pada momen tersebut, pola belanja masyarakat biasanya lebih banyak dari bulan-bulan biasanya.

Kemudian, dari sisi investasi bangunan juga diklaim positif karena proyek pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut. Berkat dua sentimen ini, pertumbuhan ekonomi masih bisa tertolong pada kuartal II 2019.

“Kedua itu sumber yang menopang pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019,” katanya.

(eay/sumber: cnnindonesia.com/adinda)