press enter to search

Kamis, 03/07/2025 12:16 WIB

PBB: Intimidasi, Ancaman, Pembunuhan Karakter, Upaya Membungkam Muslim Uighur yang Berani Menentang China

Redaksi | Sabtu, 03/04/2021 11:39 WIB
PBB: Intimidasi, Ancaman, Pembunuhan Karakter, Upaya Membungkam Muslim Uighur yang Berani Menentang China Qelbinur Sedik di rumahnya di Belanda.

JAKARTA (Aksi.id) - Perempuan-perempuan yang bulan lalu mengungkapkan dugaan pemerkosaan dan penganiayaan seksual di kamp-kamp detensi China telah dilecehkan dan reputasi mereka dirusak sejak itu. Kelompok HAM mengatakan serangan-serangan tersebut merupakan taktik yang biasa digunakan China untuk membungkam mereka yang berani berbicara, terutama Muslim Uighur..

Qelbinur Sedik sedang membuat sarapan ketika dia mendapat panggilan video, dan nama adik perempuannya di layar membuatnya gugup.

Berbulan-bulan telah berlalu sejak mereka berdua bicara. Bahkan, berbulan-bulan telah berlalu sejak Sedik bicara dengan satupun kerabatnya di China.

Sedik berada di dapur rumah sementaranya di Belanda, tempat dia tinggal bersama beberapa pengungsi lainnya, kebanyakan dari Afrika.

Dua pekan sebelumnya, dia dan tiga perempuan lainnya berbicara kepada BBC untuk cerita tentang dugaan pemerkosaan dan penyiksaan di kamp-kamp detensi rahasia China di wilayah Xinjiang, tempat Sedik bekerja sebagai guru di salah satu kamp tersebut.

Sekarang adik perempuannya memanggil.

Dia menjawab panggilan itu, namun ketika gambarnya muncul, bukan adiknya yang ada di layar melainkan seorang petugas polisi dari kampung halamannya di Xinjiang.

"Kamu sedang apa, Qelbinur?" katanya sambil tersenyum. "Kamu sedang dengan siapa?"

Ini bukan pertama kalinya si polisi memanggil Sedik dari ponsel adiknya. Kali ini, Sedik mengambil tangkapan layar (screenshot). Ketika si polisi mendengar suara tangkapan layar itu, dia melepas jaket polisinya, kata Sedik. Perempuan itu mengambil screenshot sekali lagi.

`Kamu harus pikirkan baik-baik`

Dalam percakapan dengan BBC selama beberapa pekan ke belakang, 22 orang yang meninggalkan Xinjiang untuk tinggal di luar negeri menjelaskan pola ancaman, pelecehan, dan upaya pembunuhan karakter secara terang-terangan yang menurut mereka dirancang untuk mencegah mereka berbicara tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia di negara asal.

Menurut estimasi PBB, China telah menahan lebih dari satu juta orang Uighur dan Muslim lainnya di dalam kamp-kamp di Xinjiang.

Negara bagian China itu dituduh melakukan berbagai tindakan penganiayaan termasuk kerja paksa, sterilisasi, penyiksaan, pemerkosaan, dan genosida.

China membantah tuduhan-tuduhan tersebut, dan mengatakan bahwa kamp-kamp tersebut adalah fasilitas "re-edukasi" untuk melawan terorisme.

Di antara segelintir yang berhasil melarikan diri dari Xinjiang dan berbicara kepada publik, banyak yang pernah menerima panggilan seperti yang diterima Sedik pagi itu - dari petugas polisi atau pejabat pemerintah di rumah keluarganya, atau dari seorang kerabat yang dipanggil ke kantor polisi.

Kadang-kadang dalam panggilan itu mereka memberi nasihat ambigu untuk mempertimbangkan kesejahteraan keluarga mereka di Xinjiang, dan kadang-kadang mereka terang-terangan mengancam akan menahan dan menghukum anggota keluarga.

Pengungsi lainnya telah dicoreng reputasinya dalam konferensi pers atau video media pemerintah; atau ponsel mereka menjadi sasaran peretasan atau pesan-pesan ancaman.

(Pekan lalu, Facebook mengumumkan bahwa mereka telah menemukan "operasi yang sangat terarah" dari China untuk meretas para aktivis Uyghur di luar negeri.)

Beberapa dari mereka yang bicara kepada BBC - dari AS, Inggris, Australia, Norwegia, Belanda, Finlandia, Jerman, dan Turki - menunjukkan tangkapan layar pesan-pesan ancaman di WhatsApp, WeChat, dan Facebook; lainnya menceritakan dengan detail apa yang dikatakan dalam panggilan telepon dan video.

Semuanya menceritakan suatu bentuk penahanan atau pelecehan terhadap anggota keluarga mereka di Xinjiang oleh polisi setempat atau aparat keamanan negara bagian.

Ketika Qelbinur Sedik mengingat panggilan dari petugas polisi pagi itu, melalui ponsel adiknya, dia menundukkan kepalanya dan menangis.

"Dia [polisi] bilang, `Kamu harus ingat semua keluarga dan saudara kamu ada bersama kami. Kamu harus pikirkan baik-baik fakta itu.`

"Dia menekankan itu beberapa kali, kemudian berkata, `Kamu sudah tinggal di luar negeri cukup lama sekarang, kamu pasti punya banyak teman. Bisakah kamu beri tahu kami nama-nama mereka?`

Ketika dia menolak, si polisi memanggil adik perempuan Sedik, katanya, dan sang adik berteriak kepadanya, `Diam! Kamu harus diam mulai dari sekarang!`, disusul serangkaian makian.

"Pada saat itu saya tak bisa mengendalikan emosi saya," kata Sedik. "Air mata saya mengalir deras."

Sebelum menutup telepon, si petugas polisi beberapa kali mengatakan kepada Sedik supaya dia pergi ke Kedubes China supaya staf di sana dapat mengatur perjalanan pulang ke China - instruksi yang biasa diberikan dalam panggilan seperti ini.

"Negara ini terbuka untuk kamu," kata polisi itu.

`Misogini sebagai gaya komunikasi`

Laporan tentang praktik-praktik intimidasi seperti ini bukan hal baru, namun para aktivis Uighur mengatakan China baru-baru ini menjadi lebih agresif sebagai tanggapan atas kemarahan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

Pemerintah China melancarkan serangan balik dalam beberapa pekan terakhir ini, melontarkan banyak makian misoginis yang secara spesifik menyasar para perempuan yang berbicara tentang dugaan penganiayaan seksual.

Dalam konferensi pers baru-baru ini, juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin dan pejabat Xinjiang Xu Guixiang menunjukkan gambar-gambar perempuan yang telah memberikan kesaksian tentang penganiayaan seksual di kamp detensi dan menyebut mereka "pembohong"; mengatakan bahwa salah satu dari mereka "bejat" dan "berkarakter buruk"; serta menuduh yang lainnya sebagai pezina.

Satu perempuan dilabeli "wanita jalang yang tidak bermoral" oleh mantan suaminya dalam apa yang tampak seperti video sandiwara yang dirilis oleh media pemerintah; perempuan lainnya disebut "bajingan" dan "penganiaya anak" oleh pejabat pemerintah China.

Juru bicara Kemenlu China Wang Wenbin memperlihatkan foto saksi mata Zumrat Dawat dan Tursunay Ziawudun di Beijing bulan lalu.

Wang, juru bicara kementerian luar negeri, mengungkap apa yang disebutnya catatan medis pribadi, dan mengklaim bahwa catatan tersebut menyangkal kesaksian seorang perempuan bahwa dia dipasangi alat kontrasepsi IUD secara paksa.

Pejabat pemerintah juga mengklaim bahwa penyakit menular seksual adalah penyebab masalah fertilitas yang diderita para mantan tahanan kamp, bukan penyiksaan yang brutal, serta merilis berbagai material propaganda yang menyebut perempuan-perempuan itu sebagai "aktris".

Tursunay Ziawudun, mantan tahanan kamp yang saat ini tinggal di AS, adalah salah satu perempuan yang diserang dalam konferensi pers. Ketika dia menontonnya, dia merasa lega karena Wang tidak menyebut nama keluarganya, katanya kepada BBC, namun merasa "sangat sedih" karena hal-hal lain yang disebutkan. Ziawudun pernah menceritakan pengalamannya diperkosa dan disiksa selama dia ditahan di Xinjiang pada 2018.

"Setelah semua kengerian yang mereka lakukan kepada saya, bagaimana mereka bisa begitu kejam dan tanpa malu menyerang saya di depan publik," ungkapnya dalam wawancara telepon usai konferensi pers.

Serangan terhadap Ziawudun dan perempuan lainnya menunjukkan bahwa China "mengadopsi misogini" sebagai gaya komunikasi publik," kata James Millward, profesor sejarah China di Universitas Georgetown.

"Ada banyak perempuan yang angkat suara dan mengungkapkan cerita yang sangat kredibel tentang bagaimana mereka disiksa," ujarnya. "Dan responsnya sama sekali tidak sensitif dan tidak paham bagaimana serangan seksual dan trauma seksual dimengerti dan diperlakukan di masa kini. Selain mengerikan, ia juga sangat kontraproduktif bagi pemerintah China."

Kedutaan besar China di London mengatakan kepada BBC bahwa China berkukuh dengan pernyataannya bahwa kesaksian para perempuan tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual adalah kebohongan, dan mengatakan adalah hal wajar bila pejabat mempublikasikan catatan medis pribadi sebagai bukti.

Dua perempuan lain yang berbicara kepada BBC menjadi sasaran video yang tampaknya dimanipulasi, diterbitkan oleh media pemerintah China. Dalam video tersebut, keluarga dan kawan-kawan mereka menghina mereka dan menuduh mereka telah berbohong dan mencuri uang.

Menurut laporan yang diterbitkan bulan lalu oleh Uyghur Human Rights Project, yang berbasis di AS, China telah membuat sedikitnya 22 video yang dalam pembuatannya orang-orang dipaksa untuk membuat pernyataan yang sudah dipersiapkan, seringkali mencela anggota keluarga mereka sendiri sebagai pembohong atau pencuri.

Aziz Isa Elkun, seorang eksil Uighur di Inggris, sudah bertahun-tahun tidak bisa mengontak ibunya yang sudah sepuh dan adik perempuannya ketika dia melihat mereka menyebutnya pembohong dan aib keluarga dalam sebuah video media pemerintah China. Kejahatan Elkun adalah menarik perhatian publik pada penghancuran pemakaman-pemakaman Uighur di Xinjiang, termasuk makam ayahnya.

"Anda bisa tahu kalau apa yang mereka katakan sudah dipersiapkan, tapi tetap saja menyakitkan melihat ibu saya yang sudah sepuh di film propaganda China," kata Elkun.

Qelbinur Sedik khawatir video serupa yang menampilkan suaminya dapat dirilis kapan saja, ungkapnya. Laki-laki itu memberi tahunya dalam satu percakapan telepon akhir tahun lalu bahwa pemerintah China berkunjung ke rumahnya di Xinjiang dan memaksanya untuk membaca kalimat yang menyebut istrinya pembohong. Sang suami berkata dia begitu sulit mengucapkan kata-kata itu hingga butuh empat jam untuk membuat videonya.

`Barangkali kita bisa bekerja sama`

Bentuk pelecehan lainnya yang banyak diceritakan oleh mereka yang berbicara kepada BBC ialah tekanan untuk memata-matai sesama Uighur dan organisasi yang kritis terhadap China, acap kali dengan imbalan berupa kontak dengan keluarga, jaminan keselamatan anggota keluarga, atau akses pada visa atau paspor.

Seorang Uighur yang telah menjadi warga Inggris berkata dia berkali-kali dikontak oleh pejabat intelijen selama dan setelah kunjungan ke Xinjiang serta diminta memata-matai kelompok Uighur dan Amnesty International, dengan bergabung dengan badan amal tersebut sebagai relawan. Ketika pria yang tidak mau disebutkan namanya itu menolak, dia berkali-kali mendapat panggilan telepon dari adiknya yang memohon dirinya untuk melakukannya, ungkapnya.

Jevlan Shirmemmet, yang meninggalkan Xinjiang untuk kuliah di Turki, memberi BBC rekaman panggilan telepon yang dia terima beberapa minggu setelah bercerita di media sosial tentang penangkapan keluarganya di Xinjiang.

Si penelepon, yang mengatakan dia dari Kedubes China di Ankara, menyuruh Shirmemmet untuk "menulis semua orang yang kamu temui sejak meninggalkan Xinjiang," dan mengirim email yang "menjabarkan aktivitasmu," supaya "daratan [China] dapat mempertimbangkan ulang situasi keluargamu". Seorang eksil Uighur lainnya menceritakan panggilan serupa dari kedutaan yang sama.

Mustafa Aksu, aktivis berusia 34 tahun di AS yang orang tuanya ditahan di Xinjiang, menunjukkan kepada BBC pesan teks dan suara dari seorang bekas kawan satu sekolahnya, sekarang menjadi polisi di China, yang kata Aksu menekan dirinya untuk memberikan informasi tentang aktivis Uighur.

"Dia bilang, `Mungkin kita bisa bekerja sama. Aku yakin kamu rindu orang tuamu.`" (ds/sumber BBC News Indonesia)

Keyword Uighur China